Chapter 12

4.4K 616 96
                                    

Detak jarum jam terdengar nyaring, mengisi kosong di kamar Pluem. Sang pemuda yang merasa terusik tak dapat menggapai lelap barang sejenak. Di atas ranjang Pluem tak berhenti gelisah. Pikirannya tertuju pada satu eksistensi sang pemilik hati. Chimon, sang istri.

Bak gayung bersambut, gerangan yang dinanti datang di tengah larut. Suara knop pintu yang diputar dari luar menarik penuh atensi Pluem. Tak bersuara, tak jua bergerak. Pluem ingin tahu apa yang akan dilakukan istrinya.

Ternyata Chimon tak menyalakan lampu kamar mereka. Makin lancar saja aksi pantau memantau dari suaminya. Mata Pluem bergerak melirik setiap pergerakan Chimon yang meletakkan tasnya asal di lantai dan langsung masuk ke kamar mandi.

Sembari menunggu Chimon selesai membersihkan diri, Pluem bangkit menyalakan lampu. Dengan raut tak tertebak ia duduk tenang di ujung ranjang.

Tepat ketika siluet Chimon muncul dari balik pintu kamar mandi, Pluem berdiri menyongsong.

"Mon, how's Bali?" Kalimat pertama yang ia lontarkan tanpa melewatkan raut kaget dan gerakan kaku sang istri di hadapannya.

"E..eh, Bang, belum tidur?" Mengalihkan pembicaraan jadi pilihan Chimon kali ini.

Pluem hanya menggeleng sebagai jawaban pertanyaan Chimon barusan. "Bali gimana, Mon?" Sekali lagi bertanya menegaskan.

"Ii..indah, Bang. Cantik." Gugup yang lebih muda.

Pluem tersenyum samar, membawa Chimon dalam pelukan. "Bagus kalau kamu menikmati liburan kamu. Abang cuma khawatir kamu nggak bisa dihubungin beberapa waktu kemarin."

Chimon tak tahu, harus menghembus nafas lega atau berpikir gelisah kali ini. "Maaf, Bang. Sibuk banget sama temen-temen kemarin."

"Nggak apa-apa, sayang. Asal kamu bahagia."

Pluem tak bohong di kalimat terakhirnya. Apapun asal Chimon bahagia. Termasuk memendam ribuan tanya di hatinya. Menunggu, sampai Chimon sendiri yang mau membuka semuanya satu per satu.

Itulah cinta, membutakan logika.










....








Ohm pernah merasakan sakit hati, dulu saat Chimon meninggalkannya. Pun jua kehilangan yang begitu dalam, saat Mac mendahuluinya bertemu Tuhan. Tapi rasa bergejolak di hatinya kini tak bisa mudah ia terjemahkan. Bukan rasa sakit hati, bukan pula kehilangan. Entah Ohm jua tak mengerti.

Rasanya bagai hatinya diremas kuat, membuatnya ingin menangis namun ia tak boleh. Nafasnya memburu, bagai menahan kesal dan amarah membuncah.

Alasannya adalah persona rupawan yang beberapa hari ini menghantui ingatannya. Nanon, si manis yang mengangkat ia dari keterpurukan karena kehilangan si buah hati.

"Drake !! Kok lu bisa ke sini??" Itu suara heboh Nanon yang menyambut pemuda kota yang tadi sempat dijemput Ohm di terminal.

Di teras rumah Nanon nampak memeluk Drake dengan erat, pun jua senyum manis berhias dimple di pipinya. Yang dipeluk tak hanya diam, tangannya bergerak mengelus punggung dan bagian belakang kepala Nanon. Ohm yang melihat dari sudut halaman oun tahu, ada kasih sayang yang Drake salurkan lewat aksinya.

"Bisa dong, kan gue kangen sama lu." Jawaban Drake dengan senyum yang menampakkan gigi rapinya.

"Dih, makanya jangan ngilang mulu. Kangen kan lu sama gue jadinya."

"Non, sorry." Pelukan mereka diurai oleh Drake.

Kedua lengan Nanon dipegang erat, memaksa mata si manis menatap miliknya lekat. "Lu tau sendiri kan gue butuh waktu buat ketemu lu lagi."

KISS OF HEAVEN (OhmNanon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang