The Queen (9)

10.5K 1.4K 202
                                    

"Mas?"

Aku menatapnya yang juga menatapku lurus setelah aku membuka pintu rumahku. Melihatnya setelah dua minggu lebih kami tidak bertemu, membuat hatiku berdebar terlalu senang. Gerakanku begitu antusias menyambutnya masuk ke dalam rumah.

Dia mengikutiku masuk, aku menyuruhnya duduk di ruang tamu yang cukup besar. Matanya memandang seluruh penjuru ruangan, sedangkan aku masih berdiri tidak jauh dari tempatnya.

"Willy belum pulang?"

Aku menggeleng memberi jawaban, menatap wajah lelahnya dengan lekat.

Di rumah sebesar ini, aku hanya tinggal dengan adikku berdua saja. Tadinya, kami memiliki beberapa pekerja tetap. Seperti pembantu dan supir yang akan selalu siap sedia di rumah ini. Tapi, sejak dua tahun lalu aku memberhentikan semuanya kecuali penjaga rumah yang bergantian datang. Dengan dalih ingin hidup berdua Bersama Willy adikku, aku membuat suasana rumah besar ini begitu sepi.

Kepergian orang tua kami saat aku berumur 12 tahun adalah titik terberat yang aku rasakan. Belum lagi, banyaknya tanggung jawab yang harus aku pikul sebagai anak pertama. Dengan bantuan pengacara keluarga dan para pekerja setia orangtuaku, aku sampai detik ini masih hidup aman, nyaman, dan tentram.

Untuk urusan warisan, aku memang mendapatkannya, tapi, tidak sebesar adikku. Meski menjadi anak pertama, Willy yang seorang lelaki memiliki tanggung jawab untuk menjadi penerus perusahaan. Meski begitu, aku tidak pernah iri pada Willy. Sebaliknya, aku menjaga dan mempersiapkan Willy sampai ulang tahunnya yang ke 22 agar warisannya bisa turun.

Hidup melalui dana perusahaan yang akan terus mengalir ke rekening kami karena perusahaan dikelola oleh orang terpercaya, aku dan Willy bisa hidup tenang sejak kematian orang tua kami. Hanya saja, meski memiliki harta yang tak berhenti mengalir, aku dan Willy tetap saja kesepian. Hidup berdua dibawah rumah besar ini, hubungan persaudaraan kami terlalu datar. Willy anak pendiam, susah disentuh dan hanya terpaku pada buku-bukunya.

Sebagai kakak, aku tidak memaksa Willy melakukan apa yang dia inginkan. Cukup melihatnya tiap hari menjalankan kehidupannya sesuai keinginannya, aku sudah tenang.

Berbeda dengan Willy, aku sangat menyukai kebebasan dan tantangan. Party dan shopping adalah kegiatan yang akan aku lakukan setiap minggunya. Mengusir sepi, aku selalu akan berlari mencari kesenangan duniawi.

Sampai akhirnya aku bertemu pria matang di depanku ini. Setahun yang lalu, di acara perusahaan, meski umurku masih terbilang terlalu muda, tapi, aku rutin mengikuti pesta sebagai perwakilan perusahaan. Saat itu, aku tidak merasakan apapun saat berkenalan dengan pengusaha perhotelan itu. Andra Sukmawija, aku memandangnya sopan saat dia bersama istri dan anaknya berdiri di depanku.

Hingga pertemuan, kedua dan ketiga terjadi lagi. Dia sendiri tanpa ditemani istri dan anak semata wayangnya. Aku mulai menatapnya berbeda. Dia terlalu mengaggumkan. Cara bicaranya, tatapannya, dan sikapnya. Aku mulai jatuh cinta perlahan.

Pelan-pelan, aku menatapnya dengan cara berbeda. Hatiku yang terusik, membuatku nekat mulai belajar tentang perusahaan atau apapun yang berbau bisnis. Semua demi adanya pertemuan-pertemuan yang bias aku dapatkan untuk melihatnya lagi.

Sebulan mencari perhatiannya, dia mulai menatapku juga.

Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaan apa saat itu. Bahagia tentu saja.

Dan hasil kerja kerasku berbuah manis. Aku menjadi kekasihnya. Orang kedua yang diperlakukan seperti yang pertama. Saat itu aku berpikir, tidak apa menjadi simpanan, selagi Andra terus memandangku dan bersamaku. Selagi Andra mempunyai perasaan yang menggebu seperti. Tidak apa

Short StoryWhere stories live. Discover now