17. Kembali ke Awal

11 4 13
                                    

Saat sesuatu yang tak diharap mendekat.

*

Mari lupakan masa lalu, sepertinya itu sudah cukup memberikan gambaran untuk kalian. Saatnya fokus untuk keadaan saat ini.

Pandangan mataku mengabur akibat tetes air mata yang masih setia menggenang di pelupuk. Aku sadar apa yang akan aku hadapi setelah ini, tapi aku tidak juga bisa mengingat di mana letak rem sepeda yang kunaiki saat ini, tiba-tiba saja semuanya menghilang dari ingatanku.

Semuanya terasa lama dan mendebarkan, akankah aku melakukannya pada orang yang tak bersalah sama sekali atas hidupku? Tidak bisa, tidak bisa begini. Aku bahkan tidak bisa mengurangi kecepatan gas motor yang kini justru makin kutarik ke bawah, membuat lajunya semakin menegangkan bagi orang-orang sekitar.

Suara teriakan itu membuatku menyadari satu hal, ada anak yang menunggunya pulang dengan senyum bukan hanya nama. Semuanya semakin buram, aku tak bisa berpikir apa pun saat ini. Jarak yang semakin dekat membuat jantungku semakin melompat tak karuan, ini gila.

Apa yang harus kulakukan?

Ciiitttt!

Suara ban motor yang beradu dengan jalanan licin akibat hujan ini tak akan pernah aku lupakan. Sebuah payung dengan warna merah menyala terbang, meninggalkan sang pemilik di bawah hujaman tetes air langit.

Detik-detik mendebarkan yang cukup fantastis. Entah apa yang berhasil membuat stang motorku membelok sedikit, membuat teriakan itu berubah menjadi sebuah tangisan. Aku tersenyum di balik helm dengan kaca gelap milikku, setidaknya aku tidak melukainya barang sedikit pun.

Lalu aku? Inikah saatnya aku menemui mama? Samar-samar masih kulihat banyak bayang-bayang yang mendekat ke arahku. Aku merasa basah yang lengket di rambut yang kutahu ini bukan akibat air hujan. Namun, aku semakin melebarkan senyum saat suara itu mengantarku ke gerbang alam sadar, membuat semuanya pekat dan hanya ringan yang kurasa.

*

"Dasar tak berguna, selalu saja membuat ulah. Saya muak akan tingkahnya yang selalu kekanak-kanakan itu. Haruskah saya mengajarkannya hidup disiplin?"

Samar-samar aku mendengar suara itu, suara yang kubenci sekaligus selalu kurindukan hadirnya. Kedut di kepala semakin terasa saat aku mencoba melebarkan kedua kelopak mata dan berusaha menggapai sekitar.

"Papa, cukup! Ini kejadian yang tidak disengaja, harusnya Papa bisa memakluminya."

"Andai saja dia tidak kebut-kebutan di jalanan, mana mungkin dia akan menjadi seperti ini? Berurusan dengan hukum pula, untung saja pengacara saya bisa mengatasinya. Cih! Anak itu menjijikkan, saya semakin membenci jiwanya yang masih mengembuskan napas, seharusnya dia sudah tak lagi terlihat di depan mata saya."

"Papa!"

"Diam! Kamu hanya boleh membantah saya hanya jika kamu berhasil memberikan hasil yang memuaskan untuk saya."

Suara itu! Aku dapat mendengarnya dengan jelas kali ini, walau hanya sederet kalimat menyakitkan yang dapat diucapkannya, tapi tak pernah cukup membuatku membenci akan hadirnya.

"Sekali saja. Hanya untuk sekali saja ... Key mohon, menoleh ke arah Key walau sedikit, Pa." Setetes bulir bening mengalir dari ekor mata.

Benar kata papa. Kenapa aku masih harus kembali melihat semua kekacauan ini? Harusnya aku sudah bahagia bersama mama.

Bunyi kenop pintu yang ditarik untuk terbuka, membuatku segera menghapus jejak air mata yang baru saja mengalir melewati telinga.

"Rio!"

Dream Pursue Where stories live. Discover now