20. Pengrecok Suasana

7 2 6
                                    

"Kalian pasti tahu, setelah sunset akan ada sunrise yang bersinar beriringan dengan harapan setiap orang."

*

Pagi kali ini cukup membuatku bersemangat untuk menyambutnya. Sinar mentari yang menyusup hangat berbaur dengan semangat serta harapan baru yang mulai kupupuk kembali.

Jika memang takdir tak akan merubah seseorang sebelum seseorang tersebut merubah dirinya sendiri itu benar, maka aku akan membuktikannya kali ini. Aku yakin akan bisa kembali menarik perhatian papa, aku hanya butuh sedikit lagi kerja keras.

Aku tersenyum lebar memikirkan bagaimana papa akan kembali menyayangiku seperti saat aku kecil dulu. Satu memori saja memang belum cukup kuat sebagai pegangan sebenarnya, hanya saja hatiku berkata aku harus melakukannya.

"Key, jangan senyum gak jelas gitu! Kakak takut kamu kenapa-napa jadinya," tegur kak Indie yang masih sibuk mengepak beberapa barang kami.

Aku kembali melebarkan senyum. "Jadi menurut Kakak, Key ini gila?"

"Bisa jadi, 'kan?"

"Kak Indie ngeselin."

Lalu setelahnya kami berdua tertawa bersama.

Lama rasanya aku tak melihat kak Indie tertawa selepas ini. Wajah bocahnya kini telah menjelma penuh kharisma, persis seperti mama.

"Bagaimana kalau nanti kita pergi ke pasar malam?" ajaknya kemudian.

Aku yang antusias segera mengangguk dengan senyum lebar layaknya anak kecil mendapat permen dan balon. Kak Indie bergegas pergi menemui dokter untuk menyelesaikan beberapa administrasi dan surat izin keluar dari rumah sakit ini. Akhirnya sebentar lagi aku akan memulai kembali.

Segalanya.

*

Mobil yang kami tumpangi mulai memasuki halaman rumah. Suasana terasa semakin mencekam bagiku, entah mengapa aku tiba-tiba mencemaskan hal ini.

"Kak?" Aku menatap cemas ke arah kak Indie yang mulai mengelus perlahan bahuku.

"Ada Kakak, jadi jangan takut," ucapnya yang berhasil meyakinkanku, setidaknya untuk detik ini.

Aku berjalan di belakang kak Indie yang membawa beberapa barang-barang milik kami. Mendekati pintu rumah, degup jantungku semakin berlompatan tak karuan. Aku menarik dan menghembuskan napas berkali-kali mencoba menenangkan diri. Namun saat pintu terbuka, kuhela napas lega sekaligus kecewa. Lega karena ternyata orang-orang rumah belum pulang dari aktivitas mereka, juga kecewa karena kupikir papa akan datang menyambutku.

"Sebaiknya kamu langsung istirahat!" perintah kak Indie lembut.

Aku mengangguk dan bergegas pergi ke kamar. Rasanya seperti sudah lama sekali aku meninggalkan kamar ini, membuatnya banyak berubah di mataku. Tunggu dulu! Bukankah ini adalah dekor yang kubeli dengan Rio tahun lalu? Siapa yang merangkainya?

Aku memang belum pernah menyentuh barang-barang itu, terlalu malas untuk memikirkan akan menghias kamar ini seperti apa, bahkan aku sampai lupa bahwa aku memiliki barang-barang itu. Sungguh, suasana kamarku saat ini semakin membuatku merasa telah meninggalkannya lama sekali.

Bagaimana dengan balkon? Tumbuhan di sana, adakah yang merawatnya?

Aku melangkahkan kaki membuka pintu dengan kaca bening itu. Namun yang membuatku tertegun adalah, karena keberadaan seseorang.

"Rio!"

Aku melangkah terburu-buru menghampirinya yang kini memasang cengiran khasnya itu.

"Selamat datang kembali, Key!" serunya cukup membuat telingaku berdengung pelan.

Aku menyumpal mulutnya dengan tisu yang memang sudah kugenggam sejak dari mobil tadi. Seketika itu juga Rio memuntahkannya dan melepehkan sisanya yang masih menempel di lidahnya.

"Jahat banget, sih, Key," protesnya masih sibuk melepehkan beberapa potong lagi yang tersisa.

Sejujurnya aku ingin tertawa melihat tingkahnya itu, tapi kuurungkan saja karena aku sedang dalam fase merajuk padanya.

"Kenapa tak menjengukku sama sekali?" tanyaku to the point.

Rio terlihat berpikir serius, walau aku yakin pasti jawaban tak jelas yang akan diucapkannya.
"Karena aku tahu kamu orang yang kuat dan gak gampang mati, makanya aku lebih memilih merias kamarmu supaya kamu merasa tenang saat kembali nanti, begitu. Kurang baik apa aku sebagai teman?!"

Aku berdecih pelan melihat tingkahnya kali ini. Dasar tidak jelas, jika tidak aneh maka bukan Rio.

"Key."

Kak Indie! Aku melirik ke arah Rio, menatapnya seolah aku dapat menghilangkannya saat itu juga. Bagaimana ini? Dia bahkan sangat santai berdiri di hadapanku.

"Kamu harus sembunyi sebaik mungkin, aku akan menemui Kakak!" Entah dia mendengarkanku atau tidak yang terpenting dia harus paham bahwa dia tidak boleh terlihat saat ini.

"Iya, Kak?" tanyaku dengan degup jantung yang bertempo cepat.

"Ah, tidak. Hanya ingin memastikan kamu istirahat dengan benar tanpa mengobrol dengan siapa pun itu."

Aku sedikit merasa salah tingkah dengan ucapannya yang seperti memancingku untuk mengatakan kebenarannya, Rio memang benar-benar.
Aku pun pamit untuk kembali istirahat membuat kak Indie kembali mengangguk dan tersenyum menenangkan.

"Astaga, untung saja," ucapku sembari mengelus dada menetralkan kembali detak jantungku.

"Dasar lebay," ucapnya padaku dengan cengirnya sembari berlalu dari kamarku.

"Rio!" Dia hanya terkekeh dan bergegas menghilang dari pandanganku.

*

Malam menyambut dengan gemerlap megahnya festival bintang. Benar, malam ini bintang-bintang tampak berjejer dan saling berlomba menjadi yang paling terang memenuhi bentang luas langit malam yang pekat. Angin sepoi-sepoi membuat daun-daun bergemerisik pelan, membelai lembut menghantar sejuk.
Aku masih berdiri di balkon kamar, menunggu kak Indie datang memanggilku. Sesuai janji kakak, kami akan pergi ke pasar malam kali ini. Aku sangat antusias mendengar ajakannya itu, sudah lama sekali aku tidak merasa sebebas dan selepas  ini ingin melakukan sesuatu, apalagi aku akan pergi dengan kakak.

Tok! Tok! Tok!

"Key," panggil kakak membuatku berlari untuk menggapai pintu kamar.

"Sudah siap?" tanyanya.

Aku menganggukkan kepala dengan senyum lebar menghiasi wajahku saat ini. Kami segera menuruni anak tangga bersama dan bergegas masuk ke dalam mobil yang ternyata sudah ada seseorang di situ.

"Kak Hasra?!" Aku menatap dengan kening berlipat padanya, tapi akhirnya aku memilih membuang muka dan segera menduduki tempat dudukku di depan.

"Kenapa Kakak gak bilang sama Key?"

Mobil mulai meninggalkan halaman rumah dan kak Indie yang sedang mengemudi di sebelahku belum juga mengklarifikasi keberadaan si penjilat yang satu itu. Jangan paksa aku berbuat baik padanya, karena sepertinya melakukan hal itu untuk saat ini, aku belum bisa tepatnya hatiku belum siap.

"Aku pikir-"

"Maaf, Key," ucapnya menyela pembicaraan kami, dasar tidak tahu sopan santun. "Sebenarnya aku yang memaksa Kak Indie supaya aku juga bisa ikut."

"Masih kurang merebut segalanya dariku? Bahkan saat kamu melihat Kakak mulai perduli padaku itu membuatmu harus cepat kembali memutar keadaan lagi?!" ketusku. Aku sangat tak ingin menemuinya, tapi kenapa justru malam ini kami pergi bersama.

"Gak gitu, Key. Aku, aku hanya ingin lebih dekat sama kamu. Aku gak mau kita tengkar kayak gini terus, aku mau kita damai. Kamu mau, 'kan?"

Aku memilih mengabaikan ucapannya tanpa harus menjawab. Namun panggilan dari kak Indie membuatku akhirnya mengeluarkan deheman tak ikhlas, seperti sangat berat walau aku sudah ogah-ogahan menjawabnya.

Aku meyakinkan diri sendiri akan membuatnya menyesal meminta ikut. Dia tidak diundang jadi dia tidak boleh datang. Karena seharusnya memang begitu, baik itu mengikuti kami ke pasar malam juga menjadi beban tambahan bagiku di rumah, seharusnya dia tidak boleh datang apalagi memilih menetap.

*

Dream Pursue Where stories live. Discover now