Seribu Tahun di Neraka

167 43 12
                                    

Saat seseorang mati, dia dijemput oleh Roh Pendamping. Itu yang terjadi padaku setelah aku terjun bebas dari loteng rumah yang sedang kubersihkan. Pekerjaanku adalah asisten rumah tangga, jadi bersih-bersih loteng memang sudah tugasku. Bukan berarti, aku harus mati di sana juga, tapi... ya, sudah terlanjur.

Aku tidak bisa hidup lagi.

Sama seperti Roh lainnya, aku mati meninggalkan orang-orang yang kusayang, dalam hal ini namanya Mariam, adikku.

Juga sebuah pencarian yang tidak sempat kutuntaskan: mencari keberadaan ayah yang pergi dari hidup kami saat usiaku sepuluh tahun.

Aku pikir, setelah meninggal dan menjadi Roh, aku bisa lebih leluasa membantu Mariam melanjutkan pencariannya. Ternyata, aku salah. Altan, Roh Pendamping yang ditugaskan untukku, bilang bahwa Roh hanya bisa mengawasi orang yang kami kasihi dari Akhirat. Turun kembali ke Bumi adalah hal terlarang.

"Jadi aku cuma bisa jadi penonton?" kutanya Altan.

"Iya, itu memang diizinkan oleh Atasan. Tidak boleh lebih," balas Altan tegas. "Aku tahu kenapa kamu masih ingin kembali, tetapi tetap tidak boleh, Hall."

Sebagai Roh Pendamping, Altan tahu beberapa hal soal keluargaku. Dia tahu aku dan Mariam, adikku, tinggal bersama ibu. Dia tahu ibu adalah pemabuk. Pun, dia tahu bahwa sebelum aku mati, Mariam dan aku sedang mencari-cari keberadaan ayah karena ibu sudah terlalu lepas kendali.

Walau begitu, aku tidak mati karena bunuh diri. Aku mati karena terpeleset. Tidak bisa aku bunuh diri karena kalau aku mati, adikku bakal sendirian.

Altan tahu sejarah hidupku tanpa perlu aku ceritakan, jelas ia tahu siapa Mariam dan pekerjaannya sebagai pramusaji di rumah makan. Aku dan Mariam sama-sama bekerja, lebih baik begitu dibandingkan berada di rumah yang penghuninya bikin pening terus menerus.

Selain itu, kami juga perlu uang.

"Kami nyaris menemukan ayah, Altan. Masa tidak boleh sama sekali?" aku setengah memohon.

"Nggak." Altan menggeleng mantap.

Seminggu sebelum aku mati, Mariam dan aku menemukan alamat tempat tinggal ayah. Kami mendapatkannya dari teman ibu, yang diam-diam kami datangi, namanya Claire. Claire sendiri kami temukan dari salah satu foto ayah dan ibu yang disimpan dalam gudang.

Saat bertemu dengan kami, Claire pikir ibu meninggal padahal tidak. Selama berteman dengan ayah dan ibu, Claire tidak pernah benar-benar tahu tempat tinggal ayah karena ayah sering pindah rumah.

Tidak mungkin pula kami tanya alamat pasti ayah pada ibu, nanti bakal runyam urusannya dan semua bakal gagal. Ibu tidak pernah membahas ayah secara resmi, ia hanya bilang ayah pergi dan ibu sudah tidak mau berurusan lagi dengan ayah, juga melarang kami untuk tahu.

Claire memberikan kami alamat terakhir ayah, lokasinya di luar ibu kota, untuk mencapainya perlu naik kereta api. Intinya, perlu uang banyak. Kami tidak bisa langsung berangkat, tidak mau sembarangan pinjam uang karena akan ruwet mengembalikannya. Jelas, tidak bakal minta uang pada ibu

Sejak hari itu, kami mulai ambil pekerjaan sampingan. Aku ambil tugas bersih-bersih lebih sering.

Pada suatu hari yang sial, aku jatuh dari loteng sampai mati. Mariam sekarang sendirian bersama ibu yang mabuk-mabukan penuh dengki.

"Kalau aku nggak boleh turun ke Bumi, kamu boleh?" aku berkacak pinggang di depan Altan pada suatu siang.

"Boleh." Altan melipat tangan di dada. "Jangan minta aku cari tahu soal ayahmu karena itu di luar kendaliku, ada hal-hal yang nggak bisa kulakukan karena Atasan membatasi."

Aku menarik nafas kesal. "Aku mau lihat Mariam, boleh? Lihat saja."

Altan menyerah pada permintaanku dan menunjukkan kondisi rumah padaku.

Aku dibawa ke sebuah toko di sudut lain Akhirat. Manusia mungkin bakal kaget jika tahu kondisi Akhirat sama saja seperti dunia manusia; Akhirat punya toko kue, pasar, perumahan dan apapun yang ada di dunia manusia. Satu-satunya penanda ini adalah Akhirat, hanya  cuaca yang selalu cerah. Hujan turun sebentar untuk menyirami tanaman lalu hilang lagi.

Altan bicara pada seorang Penjaga Toko di balik meja, sementara aku hanya celingukan memerhatikan toko yang nampak seperti toko barang antik. Tidak lama kemudian, aku dipanggil ke meja di mana penjaga toko menyodorkan satu koin padaku.

"Koin untuk melihat Bumi. Lemparkan ke kolam di halaman belakang dan kamu akan bisa memantau orang-orang yang kau mau." Penjaga Toko menepuk kepingan di hadapan kami.

Aku melirik Altan sekilas. "Terima kasih."

Penjaga Toko dan Altan bertukar pandang, Altan mengangguk padanya. Si Penjaga Toko kembali bicara. "Hanya untuk melihat. Jangan lompat ke kolam. Harga yang dibayar tidak sepadan."

Entah kenapa, aku buru-buru merogoh saku, seolah aku bawa uang ke Akhirat. "Untuk koinnya. Berapa?"

Altan tersedak menahan tawa, Penjaga Toko geleng-geleng kepala di hadapanku. "Bukan dengan uang. Untuk memantau, biayanya gratis. Kalau nekat kembali ke Bumi lagi, hukumannya adalah seribu tahun di Neraka."

To You, For A Thousand YearsWhere stories live. Discover now