.bab dua puluh.

209 34 1
                                    

Jantung Ria berdebar penuh semangat. Senyum di wajahnya begitu tenang dan yakin. Setidaknya dia sudah tahu apa yang hatinya inginkan.

Lagi pula, dia bukan lagi gadis remaja yang masih punya banyak waktu untuk galau soal cowok.

Dia sudah tahu persis hal membingungkan apa yang mengacaukan konsentrasinya belakangan ini. Dan dia memilih untuk menghadapinya, alih-alih menyangkal atau takut mengakuinya. Lebih baik mencoba daripada single selama.

Sesaat setelah memasuki pintu rumah, Ria meraih ponselnya dan mencari nomor Edwin. Dengan berani, dia mengetikkan pesan via WhatsApp, "Malam, Ed, ini Ria, adik ipar Boni."

Segera setelah pesan terkirim, Edwin tampak online dan langsung mengetikkan jawaban.

"Hai. Iya, tahu, nomornya masih aku simpan. Hehe."

Lalu Ria bingung harus menulis apa lagi. Dia hanya mengirimkan emoticon wajah nyengir, lalu terdiam.

Edwin is typing...

"Ada yang bisa kubantu, Ria?" Di sofa apartemennya, yang langsung menghadap ke TV, Edwin teringat malam ketika mereka bertemu di lorong rumah sakit. Dia tahu gadis itu sedang ada masalah, sepertinya masalah keluarga yang pelik. Apakah karena masalah yang sama yang bikin dia menghubungi Edwin malam ini? Atau, sakit giginya lagi ya?

Tapi Ria malah offline...

Ria menaruh ponselnya di nakas. Dia duduk bersila di karpet yang juga mengalasi kasurnya, lalu menopang dagu, berpikir. Lalu, tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

PDKT sama cowok tuh gimana sih caranya? Ria benar-benar bingung. Cuma berani memulai aja, alias menyapa, tapi sisanya bingung. Kemampuannya mendekati lawan jenis tampaknya sudah berkarat.

Dia meraih ponselnya lagi.

Edwin sudah offline lagi.

Duh... ngetik apa nih? Tubuhnya langsung lemas, seperti siluman ular putih yang berubah wujud, Ria menjatuhkan diri ke karpet dan menggeliat-geliat kesal sambil mengerang. Di saat seperti ini dia berharap punya otak secanggih Bobby.

Ria menarik napas panjang, kembali membuka layar ponsel, berharap jemarinya punya insting tersendiri untuk mengetikkan sesuatu.

Tauk ah, bingung! Ria kembali melempar ponselnya ke ranjang, tepat ketika seruan Bon-Bon dan Sofi dari ruang TV mengusiknya. Sudah jam berapa ini, kenapa anak-anak itu belum tidur juga sih? Mau tak mau, Ria meninggalkan kamar beserta ponselnya untuk menemani para keponakannya yang kedengarannya sedang bertengkar, adu ngotot dan merengek, mengetes telinga siapa yang lebih lama tahan mendengar jeritan nyaring mereka---kali ini telinga Ria yang nggak tahan. Biasanya gara-gara rebutan TV.

Sementara Edwin masih memangku ponselnya, menunggu balasan yang tak kunjung datang.

S1ngleWhere stories live. Discover now