00

796 59 12
                                    

Dimas Iswara Hiraka, seantero kampus pun agaknya mustahil jika tidak mengenal nama itu. Si Dosen muda yang baru tiga bulan mengajar, namun sudah menggeser posisi Dosen ter-killer  yang dipegang oleh pendahulunya lima tahun terakhir.

Lalu, apakah hanya itu?

Tentu tidak. Dimas terkenal tidak hanya karena sikap tegas dan otoriternya dalam mengajar, namun juga akan ketampanan paras Sang Dosen yang sanggup bersaing dengan deretan mahasiswa yang notabene berusia jauh di bawahnya.

Dengan visual yang tidak diragukan, juga kepintaran yang tidak perlu dipertanyakan, wajar agaknya jika Dosen muda itu digandrungi hampir seluruh mahasiswi, bahkan dari fakultas yang tidak ia ajar.

"Cih, cari muka."

Arin yang tengah fokus memerhatikan materi, langsung menoleh cepat pada orang yang duduk di belakangnya.

"Sa, kalau kedengaran ke depan gimana?" Panik Arin, memperingati sang teman.

Namun yang diperingati malah menggedik.

"Biarin, emang kenyataannya gitu." Acuh gadis berambut hitam terikat itu—Salsabila namanya.

Dari seluruh mahasiswi di kampus, mungkin Salsa adalah satu-satunya orang yang tidak terpengaruh akan popularitas dosen itu. Bahkan bagi Salsa, citra sempurna Dimas itu hanya sebuah propaganda.

Lihat saja bagaimana cara pria itu berdiri di depan dengan sok penuh wibawa, memasukkan satu tangan ke dalam saku celana bahannya, kemudian menyibak surai hitam ke belakang dengan sela-sela jemarinya. Semuanya palsu, terkesan dibuat-buat.

"Ada yang ditanyakan?" Demikian pria dengan turtle neck hitam itu mengakhiri penjelasannya.

Semua orang di dalam ruangan kompak menggeleng.

"Tidak, Pak." Jawab mereka serentak.

Dimas mengangguk pelan.

"Kalau begitu silahkan kerjakan kuis halaman 65, selesai lima belas menit dari sekarang."

Bak robot yang disetel otomatis, semua mahasiswa segera membuka halaman yang dimaksud, dan mengerjakan perintah dari sang Dosen.

Ralat, tidak semua mahasiswa. Karena nyatanya, gadis dengan sweater biru itu—Salsa malah menguap acuh, dan membuka buku dengan malas.

"Kenapa pada nurut banget sih sama tuh Dosen, heran." Cibir Salsa pelan.

Sembari tangan kanan menulis jawaban dari soal pertama, kepala gadis cantik itu mendongkak, menatap ke depan—memerhatikan gerak-gerik pria yang kini sudah mendudukan diri di kursi.

Salsa melihat bagaimana Dimas memakai kacamata baca sebelum membuka ponsel miliknya, pria itu kembali menyibak surai hitamnya dengan jemari tangan, memasang ekspresi seolah tidak suka dengan hal yang ia lihat di layar ponsel tersebut.

"Dasar, sok ganteng." Hardik Salsa.

Waktu lima belas menit berlalu terasa singkat. Jam dinding yang menunjukkan pukul 10.30 pagi, menjadi tanda bahwa jam pelajaran telah berakhir.

"Waktu selesai. Kumpulkan tugas kalian lalu silahkan keluar." Dimas memberi instruksi.

Salsa berdecak, ada tiga soal lagi yang belum ia kerjakan. Panik melihat semua temannya sudah keluar kelas, maka Salsa memilih menuliskan kembali pertanyaan kuis itu di lembar jawaban. Masa bodoh, yang penting mengumpulkan.



•oOo•

"Serius gak mau bareng?" Tanya Arin seraya menatap gadis dengan sweater biru itu, yang dibalas gelengan singkat dari sang teman.

Mr. Dosen, Help Me Hijrah!Where stories live. Discover now