CHAPTER 2

71 9 3
                                    


Sinar matahari pagi yang menembus kaca hingga berhasil masuk kedalam kamar itu mengusik alam bawah sadar seorang pemuda dari tidur lelapnya. Perlahan kedua matanya terbuka, mengerjap, membiasakan cahaya matahari pagi menyapa dirinya. Badannya terasa sakit luar biasa, hingga rasanya seperti remuk, walaupun begitu ia berusaha menggerakan sedikit dan mengenali ruangan yang tampak asing dimatanya.

"Kamu sudah bangun?"

Sebuah suara menyapa indra pendengarnya, spontan itu membuatnya menoleh kearah sumber suara. Tampak seorang pria yang dikenalinya sedang tersenyum tipis, wajahnya cukup terlihat lelah.

"Paman..."

"Bagaimana keadaanmu? Apa yang sekarang kamu rasakan?" Charles berdiri dari duduknya dan sedikit mendekat , mengelus pucuk kepala Anson dengan lembut, tersenyum miris melihat wajah tampan itu dipenuhi lebam pukulan preman preman brengsek semalam.

"Sedikit sakit." Bohong Anson, nyatanya masih terasa cukup ngilu.

Charles menekan tombol, dan meminta perawat untuk datang. Setelah pemeriksaan oleh perawat dan diberinya obat anti nyeri , perawat itu pamit untuk pergi. Charles hendak membenarkan pakaian Anson yang sedikit terbuka, berniat untuk menutupnya ketika ia melihat ada yang aneh. Dibukanya perlahan pakaian Anson untuk memastikan.

Betapa terkejutnya ia melihat beberapa bekas luka yang membiru, dan terlihat cukup lama. Jadi, selama ini?

"Itu..luka lama. Tapi sudah tidak lagi semenjak setahun terakhir."

Charles terdiam dan kembali menutup pakaian itu. Anson melihat dengan seksama ekspresi Charles yang sungguh tidak bisa ia pahami, ia hanya melihatnya tanpa pernah bosan. Sekilas teringat kejadian semalam, tidak mungkin ia melupakannya, dimana para preman itu kembali menghajarnya setelah setahun terakhir tidak pernah muncul. Dan sialnya memang, kenapa Charles harus datang hingga harus melihatnya seperti ini. Oh,bukan sial, sepertinya cukup beruntung karena jika dia tidak datang, mungkin ia akan benar-benar sekarat menuju kematian. Sebetulnya hal ini sudah biasa tejadi padanya, tapi tetap saja dia tidak ingin orang lain melihatnya dan mengkasihaninya, apalagi Charles.

"Makanlah sarapanmu, nanti dingin. Saya akan keluar sebentar ya, Anson." Setelah meninggalkan senyuman tipisnya, Charles beranjak keluar dari kamar, sebelum suara Anson menghentikan langkahnya, "Paman. Tolong jangan beritahu Love soal ini."

"Pasti. Makanlah."

Anson melihat Charles keluar dalam diam. Banyak hal berkecamuk didalam pikirannya, yang tidak dapat ia katakan pada Charles, dan untungnya saja hal itu tidak ditanyakan oleh Charles. Mungkin Charles sudah paham, atau bahkan salah paham? Mungkin ia akan menjelaskan jika Charles bertanya dan akan diam jika tidak ditanyakan.

Ia memulai pagi itu dengan mulai menyentuh sarapannya dimeja, rasanya tidak enak. Khas makanan rumah sakit. Badannya yang linu perlahan sedikit membaik, mungkin efek suntikan obat, dan ia tetap menghabiskan sarapannya.

Tepat setelah ia menghabiskan makanannya, Charles sudah kembali masuk. Kali ini seperti biasa ia tersenyum menatap Anson dan berjalan kearahnya. "Pintar!" nadanya terdengar seperti senang memuji anaknya yang menghabiskan makanan.

"Paman. Aku bukan anak kecil." Protes Anson ketika tangan Charles berada dipipinya, mengelus pipi dan juga rambutnya, lalu mengusaknya perlahan.

"Saya tidak bilang kamu anak kecil. Bagaimana, sudah tidak nyeri?"

Anson mengangguk dengan polosnya bak bayi kecil. Membuat Charles sedikit gemas hingga kembali mengelus pucak kepala pemuda itu. Anson terdiam, merasakan dadanya sedikit berdebar tetapi menyenangkan.

I LOVE YOUR PA!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang