12

195 52 13
                                    

kalau nggak ngerti artinya, boleh nanya di kolom komentar kok ^^

❲ frasa dan suara ❳

Yuda telah sampai di sebuah stasiun di Kota Yogyakarta. Pandangannya beredar, mencari seseorang. Tatapannya langsung melembut kala sosok berambut hitam sedikit putih ia temukan. Itu adalah sang ibuk yang sudah lama tak ia jumpai.

Yuda melangkah, sedikit berlari untuk memeluk tubuh ringkih sang ibuk yang sudah berumur. Luapan rasa rindu ia luapkan dalam satu kalimat. “Buk, Yuda wangsul.”

Sang ibuk pun juga terlihat begitu merindukan Yuda. Dipeluknya leher Yuda, dan diusapnya surai sang putra semata wayangnya. “Yuda, ibuk kangeeennn tenan...”

Yuda terkekeh mendengarnya. “Sami, Yuda nggih kangen sanget,” ujarnya sambil melepas pelukan. “Bapak ten pundi?”

Wajah sang ibuk yang tadi terlihat berseri-seri kini agak muram. “Di rumah sakit... Ayo, Yuda, kesana bareng ibuk!” ajaknya.

Yuda mengangguk-angguk seraya mengikuti langkah ibuk-nya keluar stasiun dan memesan taksi menuju rumah sakit tempat dirawatnya sang bapak.

Sesampainya di rumah sakit, ibuk-nya membawanya melangkah menuju kamar sang bapak yang terletak di bangsal Melati-01.

Di bangsal, Yuda bisa melihat bapaknya yang terbaring lemah dengan infus di tangannya. Namun saat ia hendak mendekat, kelopak mata sang bapak terbuka. Ditatapnya Yuda perlahan, kemudian senyuman langsung ia berikan. “Yu... Da?” ujar sang bapak lemah.

Nggih pak, niki Yuda...” Yuda segera duduk di atas kursi samping ranjang. Bapaknya menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan.

“Bapak kangen...” Yuda menggenggam erat tangan bapaknya. Senyum ia torehkan diwajahnya.

Sami, pak... Yuda uga kangen marang bapak.” Yuda menatap infus ditangan sang bapak. Wajahnya begitu sendu.

“Dua hari lagi, bapak wis boleh pulang, Yud...” Yuda mengangguk lemah sebagai jawaban atas pernyataan sang ibuk.

Melihat anaknya yang begitu murung, sang ibuk memutuskan untuk membawa Yuda ke depan kamar rawat. Yuda menurut, ikut duduk di sebuah kursi panjang yang tersedia di sana.

“Gimana Jakarta, Yud?” Ibuk-nya lebih sering bicara dengan Yuda menggunakan bahasa Indonesia yang dipadukan dengan bahasa Jawa sedikit.

“Bagus, buk... Kapan-kapan kita kudu ke sana bareng bapak nggih,” sang ibuk tersenyum senang mendengar bahwa sang anak menikmati tempat rantaunya.

“Sudah punya pacar di sana?” Ibuk Yuda yakin, di umur-umur Yuda ini, pasti sedang menggebu-gebunya tentang yang namanya pacaran.

Namun saat ditanya seperti itu, wajah Yuda menjadi lebih murung. Ima... Ia rindu dengan segala sesuatu tentang anak itu. Tangannya menatap layar ponselnya, berharap-harap Rahmat menelponnya dan mengabarinya bahwa Ima baik-baik saja.

Sang ibuk menatap Yuda yang tengah menatap sendu ponselnya. Wanita paruh baya itu tak kuasa untuk tak bertanya, “Yuda?”

Yuda berjengit. Pandangannya berpindah pada sang Ibuk yang menatapnya cemas. Segera ia pasang senyum di wajahnya, walau palsu.

Nggih, buk?”

“Jujur sama Ibuk, kamu kenapa to, nak? Ada sesuatu di Jakarta?” Bagaimanapun, wanita itu adalah ibunda Yuda, orang yang merawat Yuda dari Yuda masih di dalam kandungan. Tentu saja ia mengetahui kalau Yuda tengah ada masalah saat melihat tindak-tanduk anaknya itu.

“Kaya yang ibuk bilang tadi lho. Yuda sampun punya pacar. Sekarang, Yuda lagi kangen sama dia. Ini nunggu dia hubungin Yuda.”

Mendengar jawaban itu, sang ibuk tersenyum puas. “Ya wis, kamu cepet-cepet telpon sanaa! Mungkin aja, dia takut ganggu kamu, nak... Jadi ndak mau hubungi kamu. Kamu tau, kadang perasaan perempuan itu sulit dimengerti, lho...”

Perempuan, ya?

Yuda tetap mencoba tersenyum. “Iya, ini mau Yuda telpon.” Ia menekan opsi panggilan di kontak Rahmat. Namun saat beberapa saat setelah ia menelpon, yang menjawab bukan Rahmat, namun operator.

Ndak diangkat?” tanya sang Ibuk. Yuda menggeleng sebagai jawaban. Ibuk-nya mengangguk-angguk paham. “Mungkin pacar kamu sibuk. Nanti lagi bisa 'kan? Oh iya- nama pacarmu siapa?”

“I-ima...” Wajah Yuda mengeluarkan rona merah muda samar saat ia menyebut nama sang pujaan hati. Kalau begitu kan kesannya, Yuda memperkenalkan Ima pada orang tuanya!

“Ibuk yakin, Ima pasti anak sing baik dan cantik. Bukti e, kamu kepincut sampe salting begitu.”

“E-eh? Iya... Ima baik banget... Cantik juga...” Sambil membayangkan paras Ima, Yuda terus berdoa dalam hatinya. Semoga Ima baik-baik saja.

❲ frasa dan suara ❳

Saat setelah Rahmat selesai menelfon Yuda,

Diletakkannya ponsel pintar berwarna hitam itu ke meja. Dihadapannya sudah ada Joni, Supri, Sulastri, serta kedua sahabatnya.

“Gimana Yuda?” tanya Joni.

Rahmat menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gampang kok ngebujuk dia. Santai, dia ga akan ikut-ikutan.”

“Oke, kita balik lagi ke topik tadi. Lo semua dah pada tau kan, siapa yang nyulik Ima?” Joni lagi-lagi bertanya namun kali ini pada semua orang yang hadir.

“Hmm, kemungkinan yang nyulik sih ‘tuh orang’. Dan kalo ‘dia’ yang nyulik, bos harusnya udah tau,” timpal Supri.

“Karena dulu, ‘dia’ udah pernah nyulik Ima,” ujar Joni.

“Ayah keliatannya panik, tapi ga bingung nyari. Diem tuh di rumah,” kata Rahmat.

“Nah kalo gitu berarti fiks kan! Yang nyulik tuh orang yang sama. Terus nih ya, bokap lo tuh lagi mikirin cara buat bebasin Ima,” Rahmat merasa satu suara dengan Joni.

“Masa yang dulu, 'sih?” tanya Sulastri karena ragu.

“Siapa lagi coba yang nyulik Ima? Ayah gaada saingan bisnis. Lagian kalo masalah preman ya palingan yang dikeroyok tuh anak buah di pasar, bukannya malah nyulik Ima.”

“Rahmat bener,” walaupun membenarkan, sebenarnya jauh dari dalam lubuk hati Supri, ia berharap bukan ‘orang itu’ yang menculik Ima. Rahmat bahkan berharap sama, ia tak ingin hal itu terjadi lagi.

Sek, kok aku ndak ngerti opo-opo...,” ujar Putra yang duduk di samping Rahmat.

Pernyataan si surai pink ternyata disetujui Mawar. “Hooh, kek nya aku juga ngga ngerti...”

“Yang nyulik Ima itu... Om gue.”

❲ frasa dan suara ❳

note :: sorry for late up </3
aku nambah-nambah kerjaan soalnya-
selain tugas dari sekolah, ada juga kerjaan translate manga sama open joki :(
jadi ya gitu deh- maaf banget buat hiatus yg super lama ini ...

✧ FRASA DAN SUARAWhere stories live. Discover now