Balap Motor

8 3 5
                                    

Diam-diam gadis pemilik nama lengkap Jayanti Maheswari atau biasa dipanggil Jaya, sudah menekuni hobi balap motor liar sejak duduk di bangku SMA. Tentu saja tanpa sepengetahuan orang tuanya. Sejauh ini, sih, Jaya selalu bermain cantik.

Malam itu Jaya akan turun untuk menerima tantangan Eru balap motor di tempat seperti biasa. Keduanya sepakat bahwa yang kalah harus melakukan apapun yang diminta oleh sang pemenang.

Malam itu cuaca cukup bersahabat untuk melakukan balap motor. Kedua peserta sudah duduk manis di atas motor masing-masing. Di sisi sebelah kanan ada Jaya menggunakan motor berwarna hitam. Sedangkan di sisi kiri ada Eru dengan motor berwarna biru.

Di balik helm, pemuda itu sempat menyunggingkan senyum.Sangat yakin bahwa malam ini dirinyalah yang akan keluar sebagai juara. Berbeda dengan Eru, gadis yang dipanggil Jaya tetap tenang dan fokus.

Tidak menunggu lama, keduanya mulai menekan gas dengan kencang. Menimbulkan suara seperti kentut ajaib yang nyaris memekakkan telinga dan asap berwana putih keluar dari bibir knalpot.

Di antara mereka sudah berdiri seorang gadis cantik yang kan memberi aba-aba.

"Satu ... dua ... tiga ... mulai!"

Begitu kata 'mulai' terdengar, baik Jaya maupun Eru langsung melesat bagai kekuatan cahaya. Suara-suara penonton riuh bergemuruh.

"Kayaknya malam ini Eru yang jadi juara." Salah seorang penonton mulai bersuara.

"Tidak mungkin! Buktinya Jaya sudah unggul start," kata yang lain menimpali.

Dan perdebatan pun mulai tak terhindarkan. Masing-masing memiliki pendapat tentang siapa yang akan keluar sebagai juara malam ini. Meski begitu suasana tetap aman dan kondusif.

Di dalam arena balap, Jaya masih melaju dengan kencang, nyaris stabil.  Dari belakang Eru terus mencoba memberi tekanan untuk membalik keadaan. Tidak mudah memang, tetapi aroma-aroma persaingan begitu pekat terasa.

Meski di awal sempat unggul kecepatan, tetapi begitu sampai pada dua tikungan akhir menuju garis finish, Eru berhasil menyalip dengan epik hingga keluar sebagai juara.

Turun dari motor, Eru melepas helm yang langsung disambut sorak-sorai penonton. Lalu, tanpa aba-aba pemuda itu diangkat beramai-ramai. Dilempar naik turun sebagai ungkapan selebrasi.

Masih duduk di atas kuda besinya dengan helm sudah terbuka sempurna. Jaya hanya tersenyum tipis melihat kelakuan para penonton. Tidak sedikit pun ada perasaan kesal karena dirinya kalah. Yah, namanya juga pertandingan. Kalau tidak menang sudah pasti kalah. Sesimpel itu.

"Udah ... udah, tolong biarin aku turun dulu," Eru terengah meminta diturunkan. "Capek, tapi kaliam sungguh luar biasa!"

Mengangkat tinggi kedua jempolnya ke arah para penonton. Eru di sambut suara tawa juga tepukan meriah. Padahal cuma balap liar, tapi Eru merasa seakan dirinya sedang mengikuti Super Bike. Sekali-kali Eru ingin berkhayal mumpung belum dipungut pajak.

"Selamat, ya, atas kemenangannya," dengan tulus Jaya memberi ucapan atas kemenangan Eru dan ditanggapi cengiran oleh pemuda berlesung pipi itu.

"Makasih, Jay."

"Jadi, apa hukuman buatku?" tanyanya tanpa basa-basi. Menurutnya semakin cepat hukuman itu dia terima, semakin cepat pula dirinya akan mencoba menyelesaikan. Dirinya bukan tipe orang yang suka mangkir apalagi berhutang.

"Oi, santai Jay. Gak usah buru-buru gitu. Ini mudah, kok, hukumannya."

"Jadi ...?" tanyanya lagi tidak sabaran.

"Kamu harus jadi tukang ojek selama satu minggu ini. Tidak boleh pakai aplikasi, harus mencari sendiri penumpangmu. Pakai tarif biasa, terus uangnya kamu kumpulin. Di hari terakhir uang yang udah terkumpul akan kita belikan makanan untuk anak-anak jalanan, gimana?"

Eru melihatnya tersenyum cerah, ah ... cantik sekali. Kenapa jadi Eru yang tersipu di sini? Padahal Jaya tidak melakukan apapun, cuma tersenyum saja. Tapi, sudah membuat hati Eru jumpalitan. Oh, kejamnya!

"Oke, deal!"

"Deal."

"Hari terakhir, jam tujuh malam ketemu di tempat biasa. Gimana, Ru?"

Di dalam hati, Eru bersorak riang.  Walaupun sudah mengenal Jaya cukup lama, tetapi gadis itu cukup sulit untuk didekati.

Mengernyitkan dahi, Jaya dibuat heran karena tingkah Eru yang senyum-senyum sendiri.

"Kamu kenapa senyum-senyum gak jelas gitu?" Mata Jaya menatap curiga.

Untuk menetralkan rasa gugup, Eru mencoba berdeham.

"Masa cuma senyum doang kagak boleh, Jay?"

"Bener? Bukan lagi mikir jorok?"

Nyaris saja bola mata Eru copot demi mendengar kata-kata Jaya. Apa dia bilang barusan? Mikir jorok? Yang benar saja. Bahkan sekadar terlintas pun tidak.

Di sentilnya dahi Jaya karena gemas. Maunya, sih, bibir lancang gadis itu yang ingin dia cium. Eh ... becanda! Dirinya tidak senekat itu.

"Sembarangan kalo ngomong."

Mengerucutkan bibir, Jaya usap dahinya bekas disentil Eru.

"Senyummu itu sungguh mencurigakan."

Meletakkan kedua tangan di atas dada. "Aku merasa tersanjung, baru kamu yang bilang senyumku mencurigakan."

Setelah mengatakan hal itu, Eru tertawa begitu lepas. Ternyata biar pun sekaku papan, Jaya bisa melucu juga. Walaupun sedikit garing karena kurang air.

"Udah, deh, aku pulang aja kalo gitu."

"Eh, kok buru-buru pulang. Gak asyik kamu, Jay."

"Aku mau istirahat karena besok harus jadi tukang ojek, ingat?" ucapnya mengingatkan.

"Dih, gak seru banget, sih. Padahal aku mau traktir makan, itung-itung ngerayain kemenangan."

Sekali lagi Eru coba membujuk Jaya dengan rayuannya. Syukur-syukur hatinya meleleh, dengan senang hati Eru menampung lelehannya ke dalam ember. Eh, bicara apa, sih?

"Sorry, lain kali aja, deh," ucapnya meminta pengertian. "Lagian temen-temenmu kan, banyak itu. Lain kali, oke?"

Cukup srkali anggukan dari Eru, membuat Jaya lega dan bergegas meninggalkan arena balap. Menyisakan Eru yang masih berdiri menatap kepergian Jaya.

"Yaudah, tidak ada ayam tahu pun jadi. Gak bisa makan sama Jaya, sama anak yang lain pun ... jadi."

Yayımlanan bölümlerin sonuna geldiniz.

⏰ Son güncelleme: Jun 13, 2021 ⏰

Yeni bölümlerden haberdar olmak için bu hikayeyi Kütüphanenize ekleyin!

Mengejar JayaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin