2. Kamu Saja

2.9K 372 16
                                    

Happy reading :)

***

“Astaghfirullah hal adzim, Astriii. Ya Allah Ya Rabbi, kok iso nduwe pikiran koyok ngono to, Nduk? (Kok bisa punya pikiran seperti itu to, Nduk?) Dosamu sudah nggak terhitung dengan melakukan zina, masih mau kamu tambah lagi dengan membunuh janin yang nggak berdosa. Astaghfirullah. Astaghfirullah hal adzim.” Air mata kembali berlelehan membasahi wajah Bu Prawiro.

“Sekalian aja, Bu. Habis itu aku mau bertobat.”

“Nggak begitu caranya, Nas.” Mahmud sudah tak peduli dengan nama panggilan.

“Gimana kalau kamu mati ketika sedang menggugurkan kandunganmu? Ibumu benar. Sekarang kamu perbanyak istighfar. Jangan berhubungan dulu dengan orang itu.”

“Orang itu tuh siapa maksudnya?”

“Orang yang menghamilimu.”

“Dia punya nama!”

“Aku nggak peduli, bahkan sekalipun dia punya tujuh nama yang berbeda.” Mahmud mulai kesal. Menurutnya Astri selalu menjawab dengan nyolot padanya.

“Nanti malam, biar ibuku tidur di sini. Sekarang aku dan ibu izin pulang dulu. Aku minta handphone-mu, sementara biar aku yang pegang.”

“Apalagi sih, Mas?! Itu kan privasi. Gimana sih?!”

“Aku sama sekali nggak ingin tahu isi HP-mu, Nas. Sekali lagi niatku baik, cuma ingin menghindarkan kamu dari hal-hal yang bisa menjadikan semuanya kurang baik. Kasih password dan matikan. Kuatir banget sih.”

“Sudah, manut saja. Cepetan kasih password terus kasihkan ke masmu.” Astri tak berani membantah jika ibunya yang memberi perintah.

“Maaf, Bu, saya dan ibu pulang dulu. Saya ingin melepas kangen sebentar dengan ibu. Tolong titip Dik Astri ya, Bu. Kalau bisa jangan dibiarkan sendiri, dan jangan dibiarkan berdua saja dengan bapak. Insya Allah jam delapan saya ke sini lagi mengantar ibu, biar ibu menemani Dik Astri malam ini.”

Mahmud dan ibunya berpamitan. Baru setelah sampai di rumah dia punya kesempatan untuk memeluk ibunya. Tapi Mahmud tak melakukannya, melainkan langsung berlutut, mencium kaki ibunya. Tangis yang dia simpan sejak lama, pecah di sana. Ucapan maaf dan terima kasih berkali-kali meluncur dari lisannya.

Uwis, Am. Kamu nggak punya salah apa-apa, nggak usah minta maaf. Kamu juga nggak perlu berterima kasih berlebihan begitu, wong kamu bisa sekolah tinggi sampai luar negeri semuanya nggak ada peran ibu sama sekali. Kabeh kui kersaning Gusti. (Semua itu kehendak Allah)”

“Tapi tanpa doa ibu, Aam nggak akan bisa jadi seperti ini, Bu. Allah ridho, karena ibu ridho sama Aam. Allah sayang dan memampukan Aam untuk jadi seperti ini, melindungi Aam di manapun berada, semua karena kebaikan Ibu, karena ibu selalu sayang dan baik pada siapapun. Terima kasih, Bu. Maafkan Aam nggak bisa membalas cinta, doa, kasih sayang, dan semua yang sudah dan akan selalu Ibu berikan buat Aam.”

 “Uwis to, Am. Kamu pulang sehat, selamat, ilmu yang kamu dapat bermanfaat, itu sudah segalanya buat ibu. Kamu jadi anak sholeh yang selalu mendoakan ibu, bapak, simbah, istiqomah di jalan kebaikan, itu sudah membahagiakan bagi ibu. Yang penting jangan putus syukurmu.”  

Ibunya membungkuk, membawa Mahmud untuk berdiri, dan mengajaknya duduk di kursi penjalin. Keduanya bertukar cerita di sana hingga menjelang maghrib, lalu ibunya menyuruh Mahmud untuk mandi dan bersiap ke musala. Mahmud mengikuti semua ucapan ibunya. Ia di musala, sejak maghrib hingga rampung salat isya.

“Maem, Am,” sambut ibunya begitu Mahmud pulang dari musala.

Megono dan sambal terasi tersaji di atas meja. Tak ketinggalan tempe goreng berbalut tepung yang masih mengeluarkan kepulan asap. Mahmud tersenyum senang.

“Wah, ibu memang paling tahu apa yang Aam mau.”

Mereka makan berdua dengan lahap. Mahmud bahkan sampai tiga kali memindahkan nasi dari sangku ke piringnya.

“Nang, ibu mau tanya.” Mahmud mengangguk, lalu menaruh gelas berisi teh hangat yang baru saja ia tandaskan isinya.

“Kalau perempuan yang sedang hamil itu boleh menikah nggak?”

“Oh, tentang itu ada perbedaan pendapat, Bu. Tapi kalau di kita mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i, dan dalam mahzab Syafi’i itu diperbolehkan. Pernikahannya sah, cuma nanti anaknya nggak punya hubungan nasab dengan bapaknya. Nasabnya ikut ibunya.”

“Berarti boleh ya?”

“Iya, Bu. Boleh.”

“Kasihan keluarga Pak Prawiro, harus menanggung aib seberat itu. Astri ki yo piye to yo, kok iso-isone kedaden ko kui (Astri nih gimana to ya, kok bisa-bisanya kejadian seperti itu). Astaghfirullah,” ratap ibu Mahmud sambil menghapus air mata yang mengalir begitu saja.

“Iya, Bu. Memang aib dari zina itu tak hanya menimpa pelakunya saja, lebih dari itu, keluarganya yang paling menanggung malu. Kadang bahkan bisa sampai lingkungannya. Dan cap buruk pada mereka yang melakukan dosa zina, akan menempel seumur hidupnya. Naudzubillahi min dzalik. Semoga belum ada yang tahu selain keluarga, Bu. Bahkan si laki-lakinya juga sebaiknya jangan langsung diberi tahu kalau pihak Astri sendiri belum yakin dia mau bertanggung jawab atas perbuatannya.”

“Maksudnya bagaimana, Am?”

“Maksud Aam, kalau dia terlanjur diberi tahu, lalu dia nggak mau bertanggung jawab, itu bisa membuat aib ini terbuka di luaran sana, Bu. Minimal di keluarga laki-laki itu.”

“Lha kalau dia nggak mau menikahi, apa boleh si perempuan hamil ini dinikahi sama laki-laki yang lain? Bukan yang menghamili?”

“Ini juga ada perbedaan pendapat, tapi sekali lagi, kalau menurut mazhab Syafi’i ini diperbolehkan, Bu. Ini bukan hanya tentang siapa yang menikahi, tapi juga tentang bagaimana melindungi aib seseorang. Kalau pernikahannya insya Allah sah, tapi ya itu tadi, siapapun yang menikahi, tidak bisa mewariskan nasabnya pada anak yang dilahirkan nanti.”

“Lha masa iddahnya, bagaimana?”

Mahmud tersenyum miring, “Masa iddah itu kan waktu menunggu, Bu. Waktu menunggu bagi seorang wanita yang baru saja bercerai, baik cerai hidup ataupun cerai mati. Waktu menunggu untuk dia menikah lagi, sebab dikhawatirkan ia sedang mengandung, nanti jadi nggak jelas pula nasabnya kalau habis cerai boleh langsung menikah lagi. Jadi masa iddah hanya berlaku untuk mereka yang sudah menikah, Bu. Astri kan nggak menikah, Bu, dia cuma kawin saja. Kayak sapi, ayam, monyet,---“

“Hush! Ojo sembarangan nek ngomong,” hardik ibunya.

Mahmud segera beristighfar. Ia kelepasan, sebab masih tak habis pikir pada apa yang sudah dilakukan oleh Astri, seseorang yang sudah seperti adiknya sendiri. Setahunya Astri sangat menjaga diri dan pergaulan, tapi masih bisa juga terpeleset pada kehinaan.

“Am.”

“Nggih, Bu.”

“Kalau kamu saja yang menikahi Astri, bagaimana?”

***

Blaik, malah suruh nikahin.

Mau nggak, mau nggak, mau nggak? Hahaha..

Di part ini ada scene yang menyinggung soal perbedaan mazhab. Kalau sekiranya ada kesalahan dan kekurangtepatan dalam penyampaianku, silakan meluruskan, dsb dengan cara yg baik ya. Kalau mau di komen, silakan. Kalau mau japri, itu lebih baik lagi. Hehe...

Baiklah, segini dulu ya. Aku masih banyak PR buat nyiapin anak sulung masuk asrama.

Semoga bisa menghibur.
Thank you :)

Semarang, 02092001

Bin FulanahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang