Bagian 1

578 81 23
                                    

Mentari memang hangat, tapi ia tak akan mengalahkan setiap senyum bahagia yang tercipta dari sebuah keluarga.




Senin adalah momok untuk para manusia. Setelah dua hari bersantai ria, menikmati weekend dengan penuh suka cita. Menjernihkan pikiran setelah rutinitas memuakkan, mengendurkan otot setelah berhari hari menegang.

"Yang? Sepatu aku yang beli sama rico minggu lalu dimana ya?"

"Ma? Bando biru aku yang dibeliin tante inggrid dari korea dimana?"

"Ma? Buku pe'er matematika brian semalem lipa naruh."

"Ma? Sebelah kaus kaki putih Etan di umpetin ame"

Muhammad Rizky Billar (papa)

Delvina Aurora Putri Billar ( nana 16 tahun)

Rayyan Fabrian Putra Billar ( brian 12 tahun)

Rainer Ethan Putra Billar (Ethan 8 tahun)

Almeera Sabhira Putri Billar ( Amee 2 tahun)

Semua panggilan itu Ora abaikan, ia tak peduli dengan sepatu yang Billar cari karena ia sudah menyiapkan sepatu bersih mengkilap bersama dengan setelan kerja dikamar.

Ia tak peduli dengan bando yang dicari anak gadisnya karena sekotak accesories berjajar memenuhi kotak khusus yang diberikan gladis.

Ia tak peduli dengan buku peer milik brian karena memang sudah ia masukkan ke dalam tas semalam.

Ia tak peduli dengan kaus kaki yang hilang sebelah milik ethan karena kaus kaki lainpun berjejer di tempatnya.

Ia memilih fokus pada mangkuk kecil dan mengikuti setiap langkah kecil Amee yang terus berlari memutari meja makan.

Dan tak berapa lama teriakan itu mereda, semua tampak rapi berjalan keluar dari kamar masing masing.

"Sejak ada ame, mama itu kayak udah ngga peduli sama kita."  Ethan bersunggut mengekuarkan Protes.

Yang paling menonjol menunjukkan rasa kecemburuannya terhadap saudari perempuan terkecilnya memang Ethan. Bocah berusia 8 tahun itu tak segan meminta disuapin saat Ora terlalu sibuk mengurusi Ame dan mengabaikan dirinya.

"Kan adek masih kecil, ethan kan sudah besar." Ora mengulas senyum sambil mengisi piring Ethan dengan nasi goreng.

"Mama juga udah jarang bantuin brian mgerjain tugas." Sahut Brian ikut memprotes.

"Mama jug-"

"Na? Kamu itu udah gede, udah waktunya belajar mandiri."  Sela Billar yang langsung di sahuti dengan decakan.

"Kalau soal gini aja papa bilang harus mandiri, udah gede. Giliran ada yang ngajakin jalan, ngajakin nonton papa larang larang bilang aku masih kecil." Protesnya.

"Siapa bilang papa larang, kan papa cuma bilang kalau nana mau jalan ya sama papa."

"Ih males banget. Yang ada aku di liatin orang dikira jalan sama sugar daddy."

"Ya gapapa dong, kan papa masih keren."

"Ih. Ogah! Papa itu udah tua udah keriput."

"Sudah, kalian sarapan. Jangan marah marah terus. Habiskan sarapan kalian dan cepat berangkat."

Setelah itu sarapan berjalan dengan tenang, Ame pun sudah terlihat asyik dengan boneka bonekanya diruang tengah ditemani Lilis.

"Ma jangan lupa transfer nana, soalnya nanti sekalian mau cari kado buat fasa." Mencium tangan Mamanya, Nana mengingatkan mamanya agar tak lupa memberinya uang jajan lebih karena salah satu teman sekolahnya ada yang akan merayakan ulang tahun.

"Lusa brian ada acara camping sama anak osis ma, surat persetujuannya brian taruh di meja belajar nanti mama tanda tangani ya. Soalnya besok harus dikumpulkan."

"Ethan juga belum bayar buku, ngga tau berapa nanti mama telpon bu dinar ya ma. Ethan suka lupa kalau nanya."

"Iya iya. Nandi mama urus. Buruan masuk mobil dan berangkat. Kasian pak ukas sudah nunggu."

"Kita berangkat ma. Pa assalamualaikum." Koor membahana membuat kedua sudut bibir Ora tertarik keatas diiringi lambaian tangan.

"Papa nanti pulang agak telat, rico minta ditemenin lihat apartemen buat nakula."

"Jadi dibeliin apartemen. Apa tega?"

"Kan kula anak cowok yang."

"Cewek atau cowok tetep aja namanya anak. Lagian dia masih baru 18 tahun."

"Ya dari pada dirumah ribut mulu sama gladis." Menyodorkan tangan yang segera disambut oleh Ora. Billar mencium kening Ora sebelum berpamitan dan mengucapkan salam.

17 tahun berlalu, bukan tanpa terasa. Tapi sungguh perjalanan yang sangat luar biasa.

Dari bagaimana dia mulai hamil Nana pitri pertananya, disuaul Brian, Ethan dan Amee. Ora merasa sangat bahagia, meski tak jarang ia pernah merasa lelah dan ingin marah.

Ah! Mengingat Nakula. Ia adalah anak dari suami pertamanya. Ya! Setelah nekat merebut pacar yang sudah menikah dengan dalih cinta. Gladis akhirnya bercerai dan berakhir dengan menikah kembali dua tahun setelahnya dengan seorang bule asal australia.

Nakula adalah gambaran dari seorang Gladis versi laki laki. Dan kalian bisa membayangkan bagaimana dia orang yang memikiki sifat keras yang sama besar dipersatukan.

Nakula bukan anak yang durhaka, tapi dia memang tak pernah suka dengan Gladis yang tak tau diri dengan usianya yang semakin menua.

"Aku tuh lebih suka sama mama ora, pinter masak, bisa bantuin bikin peer. Ngga sibuk sama dunianya sendiri." Itu adalah bentuk sebuah protes yang nakula ucapkan kala anak itu masih berusia 10 tahun.

Ora tak sepenuhnya menyalahkan Gladis, karena sekeras apapun perempuan itu. Hidup yang ia jalani tidaklah mudah, dan jika saja ia diposisi Gladis belum tentu ia mampu melewatinya.

Nakula

   Temui mama setelah pulang sekolah.

Ora mengirim pesan pada Nakula yang ia lanjutkan demgan menransfer Nana, menelpon guru ethan untuk menanyakan harga buku sekaligus melunasinya sebelum ia berjalan masuk kedalam kamar Brian dan membubuhkan sebuah tanda tangan diatas selembar kertas yang tergeletak diatas meja belajat.

Ia melakukan semuanya dengan sangat baik.

Billar tak pernah salah, Ora memang terbaik meski bukan yang tercantik.

Karena baginya, bukan kecantikan yang diakui dimata dunia. Karena cukup ia saja yang melihat, betapa rupawan istrinya itu.

AFTER MARRIAGETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang