CHAPTER 03 [FIN.]

74 14 13
                                    

— YOUR FEELINGS ARE VALID —

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

— YOUR FEELINGS ARE VALID —






ㅤㅤㅤMELIRIK ARLOJI bercorak hitam yang masih menggantung pada pergelangan tangan, menatap pintu apartemen yang sudah berada persis di hadapan, Jimin sontak menghela napas lelah pada sepersekon kemudian. Jarum sudah berdetak menampilkan pukul dua siang. Seharusnya, dia tidak kembali secepat ini. Namun, mengingat kejadian tidak terduga macam apa yang telah dialaminya tadi, maka pemuda tersebut semestinya tidak perlu merasa heran lagi.

Ini hari yang melelahkan. Jelas. Jimin bahkan mengira barangkali dia akan menangis tatkala berhasil membaringkan tubuhnya di ranjang nanti. Dadanya terasa sesak. Perutnya mual. Kepalanya sakit. Seharusnya peristiwa tadi tidak memiliki pengaruh sebesar ini pada atma maupun fisiknya. Toh dia sudah terbiasa merasakan hal biru serupa ini sejak lama. Ini bukan mengenai Jimin yang berduka sebab pekerjaan tetapnya baru saja menghilang, bukan juga tentang dia yang kerap dipandang remeh oleh banyak orang, hanya saja—mengapa, ya?

Mungkin hanya sedang merasa lelah. Menggeleng meyakinkan diri seolah perasaan aneh tersebut tidak pernah merayap dalam dada, bersikap seakan dia masih baik-baik saja, Jimin mereguk seluruh pemikirannya mentah-mentah.

Lalu ketika akses berhasil dibuka, kaki melangkah memasuki kediaman sendiri, kedua netra pria itu sukses terbuka lebar kala menjumpai ada seseorang yang berada dalam apartemen tanpa sepengetahuannya. Jimin menatap lekat seorang gadis yang mendongak memandangnya, menutup pintu sebelum bertanya, "Seilhwan?" Keningnya mengerut. "Kamu—kenapa bisa masuk?"

Gadis tersebut—Im Seilhwan—kemudian tersenyum tipis. "Lupa, ya? Waktu dulu, kamu, 'kan, pernah memberitahuku kode akses apartemen ini," ujarnya terkekeh. "Ternyata belum diganti?"

Jimin sejemang terpaku di dekat pintu, berusaha mengingat, lantas meneruskan, "Iya, sih, tapi—"

"Duduk dulu, ya, Tampan. Hari ini pasti melelahkan, bukan?" Si gadis tersenyum hangat, mempersilakan si lawan untuk duduk di sisi kanan sofa, lalu serta-merta menyerahkan segelas teh ketika Jimin sudah menjatuhkan bokong persis di sebelahnya melalui sejumlah pertimbangan. Netranya mengerjap, mengamati. Sosok Jimin yang ditemuinya sekarang tidak tampak jauh berbeda dari Park Jimin yang sempat menjadi kekasihnya selama kurang lebih dua tahun di masa dulu. Pemuda itu masih kelihatan lembut, manis, serta mempesona. Barangkali dua hal tersebut yang sanggup membuat Jimin tertentang jauh berbeda dari banyak pria di luar sana, pun kuasa membuat para gadis serta-merta tertarik hanya dengan satu kejapan mata.

Menelan beberapa teguk air teh yang terasa legit, Jimin melirik sekilas, bertanya penuh kuriositas, "Sudah lama sekali sejak terakhir kita bertemu. Kenapa tiba-tiba menghampiriku seperti ini, Seil?"

"Tentu saja ada hal yang harus kubicarakan. Namun, sebelum itu, tidakkah kamu ingin membahas mengenai dirimu terlebih dahulu?"

"Aku?"

Seilhwan mengangguk. "Iya. Kamu sungguhan terlihat lelah. Habis bekerja, ya?"

Meletakkan cangkir pada permukaan meja, Jimin menahan napas. "Ekspresiku tampak seburuk itu? Padahal aku sudah berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja."

Ikigai ㅡ P.jm ✓Where stories live. Discover now