0.2

598 92 23
                                    

.

Juno sama sekali tidak pernah merasakan kenyamanan yang berarti selama tinggal dengan ayahnya. Keduanya jarang berbicara, ya mungkin memang Juno yang lebih cenderung tidak menunjukkan ketertarikannya pada ayahnya. Setiap melihat ayahnya, ia selalu berpikir jika ini semua salah Lelaki tersebut. Ibu dan kakaknya pergi, dan sialnya meninggalkannya seorang diri bersama Jhon.

Mobil hitam itu masuk kedalam pekarangan rumah, Juno mematikan mesin mobil, memilih untuk tidak segera keluar dari mobil hitam milik ayahnya.

Ia menyenderkan kepalanya dikursi mobil, menatap foto satu keluarga yang ada di atas dashboard. Difoto itu Semuanya tampak tersenyum kecuali dirinya, ia ingat sekali saat itu ia menunjukkan wajah masamnya karena ayahnya memegang tangan kecilnya begitu erat.

Difoto satunya lagi, wajah anak kecil berusia empat tahun sedang berpose dengan senyum mekarnya, menampilkan dua gigi kelinci yang terlihat manis. Juno mengeratkan kepalan tangannya lalu membuang muka kearah lain, jika saja ini bukan mobil ayahnya, sudah pasti foto-foto itu akan ia hancurkan detik itu juga.

Juno membuka pintu mobil, ia menutup pintu mobil dengan keras hingga beberapa burung merpati yang hinggap dipagar rumah mereka mengepakkan sayap lalu terbang menjauh.

Ia berjalan memasuki teras rumah, membuka sepatunya lalu masuk kedalam rumah sepi itu. Jika saja ibu dan kakaknya ada disana, rumah ini tidak akan terasa seperti kuburan, rumah ini akan terasa ramai dan hangat.

Tetapi saat ini, yang terasa hanya kesunyian dan dingin yang menusuk kulit. Juno melemparkan kunci mobil itu keatas sofa lalu menuju meja makan.

"Selamat malam Tuan, sebelum makan cuci tangan dulu."

Juno menatap wanita parubaya itu malas, ia bangkit berdiri ke arah wastafel lalu mencuci tangannya. Tidak berselang lama Ia kembali kemeja makan untuk mengambil nasi dan beberapa lauk yang menarik seleranya, ia berjalan ke arah ruang tv untuk makan disana.

Sekitar dua menit kemudian suara kaki menuruni tangga terdengar, Juno menoleh lalu menemukan presensi ayahnya yang baru saja menuruni tangga. Tatapan keduanya bertemu, melihat senyum ayahhya membuat Juno langsung membuang tatapannya ke arah tv.

"Selamat malam, Tuan besar."

"Malam, bi."

Setelah itu Juno tak lagi mendengar suara ayahnya, yang terdengar hanya suara sendok yang beradu dengan garpu dan piring. Juno mengabaikan suara tersebut, ia beralih nenyantap makanannya sambil menonton kartun jepang kesukaannya.

Setelah sepuluh menit berlalu, ia membawa piring bekasnya kembali kedapur lalu melihat ayahnya yang sedang meneguk segelas air.

Juno sedikit terkejut saat cipratan air mengenai pipinya, ia menatap tajam pembantu yang sedang mencuci piring bekas ayahnya.

"Kau tidak bisa pelan-pelan?!"

Pelayan itu mengernyit bingung. "Salah saya apa, tuan?"

"Kau tanya apa salahmu? Kau mencuci tidak benar! Percuma kau bekerja hanya untuk makan gaji buta, sialan." Juno meletakan piring itu diatas wastafel dengan sedikit kasar, ia berbalik mengambil air minum di atas meja.

"Pelan-pelan saja, Ko. Bibi pasti tidak tau—"

"Kenapa kau selalu membelanya? Apa kau sudah beralih menyukai pembantumu sendiri?!" Jhon memejamkan matanya, mencoba meredam gejolak amarah yang ada di dada. Ia tak ingin mereka berakhir dengan pertengkaran lagi.

"Bukan begitu, Ko. Ayah—"

"Tutup mulutmu, kepalaku sakit mendengar celotehan tidak jelasmu itu." Ujar Juno lalu segera beranjak dari sana meninggalkan ayahnya.

Jhon menatap pembantu tersebut, merasa tidak enak karena perlakuan Juno barusan.

"Tolong maafkan Juno, bi. Anak itu masih perlu banyak belajar."

Pelayan tersebut mengangguk sebagai jawabannya. Ia mengatakan pada Jhon untuk tidak khawatir, mereka sudah biasa dengan watak Juno yang meledak-ledak. Jhon hanya bisa mengangguk, ia pun segera beranjak dari sana, ia harus kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan beberapa urusannya.

.

Juno duduk di balkon kamarnya, ia memandang benda besar yang terlihat kecil diatas langit. Berwarna putih gading dan merupakan hal kesukaan ayahnya sejak ibunya pergi.

Juno tidak tau mengapa Ayahnya begitu menyukai bulan sejak mereka ditinggalkan berdua. Juno tau ayahnya diam-diam membuka pintu belakang untuk duduk ditaman belakang rumah untuk melihat bulan. Juno sudah banyak kali melihat itu terjadi, bahkan saat ini pun ia bisa melihat tubuh ayahnya yang ada dikursi taman.

Kalau ada Dante disini, mungkin yang menemani ayahnya pasti kakaknya itu. Dante memang dekat dengan ayahnya, berbeda dengan Juno yang serasa ingin menghajar ayahnya setiap melihat paras tampan yang mulai keriput itu setiap hari.

Juno memperhatikan presensi sang ayah dari atas balkon ini, menatap kacamata ayahnya yang terlihat mengkilat dibawah cahaya bulan. Teleponnya berdering disaku celana sebelah kiri, Juno mengangkatnya lalu berjalan memasuki kamarnya. Meninggalkan ayahnya disana seorang diri.

"Hallo?"

"Juno, yakin mau membocorkan data perusahaan ayahmu?" Juno terdiam, ia menatap foto Dante dan ibunya yang ada diatas nakas. Ayahnya pasti sangat senang mereka pergi, pikirnya. Juno berdehem sejenak.

"Iya, berikan data perusahaannya pada paman Rendra." Ujarnya.

"Kau yakin? Paman rendra itu musuh kantor ayahmu. Berpikirlah panjang Juno. Sekali lagi kutanya, kau yakin?" Juno memejamkan matanya laku.menarik napas panjang.

"Yakin. Biarkan pria tua ini bangkrut dan mati membusuk." Ujarnya lalu mematikan telepon sepihak. Ia menarik selimut tebalnya lalu memejamkan matanya, ia harap bisa mendapat kabar baik besok pagi.

.

Ada yang tertarik sama cerita ini?

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Ada yang tertarik sama cerita ini?

Selenophile FathersDonde viven las historias. Descúbrelo ahora