Lithe | Ayo Bicara

362 45 0
                                    

Ada yang lelah; raga. Ada yang bosan; rasa. Ada patah yang terasa begitu nyeri; hati.

°°°

Mata Mami mendelik menatap anaknya. "Kamu punya dendam kesumat sama Mami ya, Jen?" tanyanya dengan nada sewot.

Jendra yang melihat itu segera menggenggam tangan maminya erat. Matanya menatap lekat maminya berharap wanita yang telah melahirkan dan merawatnya ini mau menerima penjelasannya. Jendra memang ijin pada maminya untuk pulang ke rumahnya bersama Ayra, yang tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh maminya. Mereka baru beberapa jam di sini dan ini tidak sesuai kesepakatan, Papi belum pulang. Namun Jendra tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya dan tiba-tiba berkata ijin pulang.

"Aku janji minggu dep—"

"Enggak usah obral janji kamu, kalau cuma di mulut doang."

Jendra tak tahu bagaimana lagi caranya membujuk sang Mami agar tak marah. Semua alasannya ditolak karena terdengar tak meyakinkan, sedangkan dirinya tak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya. Bisa-bisa dirinya dan Ayra tak akan diijinkan pulang dan malah disidang. Dan mungkin, hanya ada satu cara lagi, untuk membujuk maminya. Ini adalah cara terakhir.

"Mami mau apa? Nanti aku kasih deh, ya," tawar Jendra yang malah disambut oleh Mami yang bergaya angkuh, dengan dagu terangkat.

"No! Mami bisa minta ke Papi."

"Kalo bayi?" pancing Jendra. Dalam hati dirinya sudah tertawa ketika melihat maminya membuka kedua matanya lebar-lebar. "Aku, sih, yakin Papi bakal seneng. Tapi emang Mami mau hamil lagi?" Jendra bertanya dengan nada usil

Tak menunggu setengah menit, pundaknya dipukul ringan. Jendra tertawa renyah melihat ekspresi maminya yang berubah muram.

"Fine! Bayi, ya?"

"Aku usahakan, Mi," kata Jendra pelan. Kali ini, hatinya tertawa miris. Seharusnya, ia tersenyum bahagia karena alasannya untuk segera pulang sepertinya dikabulkan oleh sang Mami, 'kan?

Bayi?

Shit!

Jendra sekarang merutuki mulutnya yang berbicara tanpa pikir panjang. Hubungannya dengan Ayra saja bisa dikatakan tak baik sejak mereka berdua menikah. Lalu apa yang diharapkan? Bahkan mungkin, ini semua akan berakhir karena Ayra selalu berkata ingin mereka yang dulu. Entah, meski ini semua berakhir, apa mereka masih bisa seperti dulu? Apa tidak akan ada rasa canggung?

Bukan, bukan itu. Lebih tepatnya, apa Jendra masih bisa menatap wajah cantik milik Ayra ketika dirinya sudah terlalu banyak menyakiti hati perempuan itu? Apa Jendra masih sanggup tertawa bersama Ayra ketika dirinya pernah membuat perempuannya menangis begitu pilu? Atau, apa hatinya bisa menerima keadaan? Jawabannya adalah tidak.

Jendra tidak bisa lagi berdekatan dengan Ayra nanti, setelah semuanya berakhir. Jendra tidak akan sanggup melihat atau membuat perempuan itu tertawa. Dan Jendra tak akan pernah bisa menerima keadaan bahwa pada akhirnya mereka berpisah. Jendra tak akan pernah bisa, tak akan mampu menjalani semuanya. Jendra tak tahu bagaimana nanti caranya menenangkan hatinya yang kalut karena kehilangan, tak tahu bagaimana caranya mengalihkan pikirannya yang mungkin akan terus tertuju pada Ayra.

"Jen, kamu ngelamun?"

Jendra tersentak ketika maminya menepuk bahunya. Sebuah senyum tercipta di bibirnya meski tak sampai ke mata. "Enggak," jawabnya.

"Kamu baik-baik aja, 'kan?"

Jendra menganggukan kepalanya pelan, "Ya."

"Ayra?"

LITHE [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora