Lithe | Tanpa Merubah Status

385 51 0
                                    

Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja, meski kenyataannya tidak akan begitu. Aku hanya ingin kamu, meski mungkin kamu telah memilih hati yang lain.

°°°

Ini tidak mudah. Berbicara panjang lebar untuk permasalahannya dan Ayra bukan hal yang mudah namun harus tetap Jendra lakukan. Dan meski belum ada reaksi apa pun dari perempuannya setelah ia berbicara panjang lebar, Jendra tetap kembali bicara. Jendra kembali mengatakan apa yang selama ini mengendap dalam dadanya, yang bergerumbul membentuk sesak.

"Pernikahan ini mungkin enggak seperti pernikahan lain. Pernikahan ini bukan pernikahan impian kamu, aku minta maaf, Ay. Tapi yang harus kamu tahu, aku bahagia." Jendra tersenyum tipis. Ia tidak berbohong ketika ia mengatakannya. "Aku bahagia karena pada akhirnya aku bisa ketemu kamu tanpa batas waktu sama seperti dulu. Aku bahagia melihat kamu tidur di samping aku," lanjutnya.

Lalu hening. Entah bagaimana caranya, meski Jendra berusaha mati-matian untuk tetap mempertahankan senyumnya, matanya ternyata tak luput dari rasa panas. Lagi, Jendra mengalihkan pandangannya ke arah lain, menghalau air matanya.

Perlahan, kekehan yang malah terdengar sangat menyayat itu terdengar. Menghela napas, Jendra kembali membuka mulutnya, "Dan aku ... sakit. Aku sakit saat harus melihat kamu nangis karena aku. Sakit ketika mendengar kalau kamu mau kita yang dulu. Aku mau kita hidup ke masa depan, Ay, bukan hidup seperti kita yang dulu. Tapi kalau itu yang kamu mau, aku bisa apa, 'kan? Makanya, aku kabulkan permintaan kamu."

Baginya, Ayra adalah yang terpenting. Kebahagiaan perempuan yang ia sayangi itu yang selalu Jendra inginkan, yang selalu Jendra usahakan, dan yang selalu ingin Jendra jaga keutuhannya.

Dan ketika bahagianya Ayra tak ada pada dirinya, Jendra harus tetap menerima itu, 'kan? Jendra harus tetap menjadi seseorang yang mengusahakan kebahagiaan perempuannya.

Tak peduli seberapa besar usaha yang sudah dilakukannya sampai berada di titik sekarang, pada akhirnya Jendra harus menyerah. Kapal yang ia bawa tak bisa untuk tetap ia lajukan ke arah tujuannya kalau si penumpang tak mau ikut dengannya, 'kan? Mengantarkan Ayra pada tujuan perempuan itu yang harus Jendra lakukan.

"Ayo ngomong, Ay!" tegas Jendra, kali ini lebih keras namun nada frustasi sangat kentara dari ucapannya. Jendra menunduk, menyugar rambutnya ke belakang kemudian mengusap wajahnya kasar.

Bahu lelaki itu sedikit terangkat ketika ia menarik napasnya keras-keras, berusaha meredakan sisi emosionalnya. Dan tanpa diduga sebuah tangan tiba-tiba menggenggam tangannya, Jendra mendongak mendapati Ayra yang sudah duduk di sampingnya dengan kaki yang terlipat di atas ranjang. Wajah perempuannya sembab, dan Jendra tak bisa untuk menghapus air mata itu. Jendra tak bisa melakukan hal sesederhana itu sekarang. Rasanya begitu berat untuk mengangkat sebelah tangannya.

Kalau keadaannya tidak seperti sekarang, Jendra mungkin akan jadi orang tercepat yang merengkuh tubuh Ayra, mengusap wajah basah Ayra. Jendra akan menjadi orang pertama yang mengupayakan segala cara untuk menenangkan perempuan itu. Jendra akan menjadi lelaki yang berusaha paling keras memikirkan bagaimana caranya kembali membuat Ayra bahagia.

Sayangnya, sekarang tidak. Sayangnya, Jendra tak lagi mempunyai keberanian lebih seperti dulu, seperti beberapa saat lalu. Sudah cukup tadi ia lepas kontrol dengan mengecup kening Ayra. Untuk hal yang ada di kepalanya sekarang, jujur Jendra belum siap untuk sebuah penolakan, lagi.

Ayra menarik napas sejenak seraya menghapus air matanya dengan tangan kiri. Cengkraman di tangan Jendra semakin menguat, perempuan itu seperti mencari kekuatan dalam sentuhan tangan itu. "Jen," lirihnya kemudian.

Untuk beberapa saat, perempuan yang bahkan belum mengganti pakaiannya itu terlihat mengatur deru napasnya, menenangkan dirinya sendiri agar bisa kembali berbicara.

Jendra menoleh, irisnya bersitatap dengan iris indah milik Ayra. Dan untuk kesekian kalinya, Jendra mengakui bahwa Ayra cantik meski matanya dipayungi oleh bulu mata lentik yang basah karena menangis, meski hidungnya memerah seperti badut. Ayra selalu cantik di matanya, tak peduli dengan keadaan perempuan itu.

"Aku mau kita yang dulu."

Lantas, Jendra memejamkan matanya erat-erat barang sejenak. Kembali mendengar keinginan Ayra membuat dadanya berdenyut nyeri. Seingin itukah Ayra lepas darinya? Sebesar itukah keinginan Ayra untuk perpisahan ini? Sudah selapang itukah Ayra ingin menyudahi pernikahan ini?

Jendra sadar, sadar sekali bahwa apa yang terjadi padanya dan Ayra bukanlah hal sederhana. Ia paham bahwa ini akan terjadi. Namun Jendra tak pernah berpikir akan sesakit ini rasanya, akan sesesak ini rasanya. Pengakuan cintanya tak ada apa-apanya, karena Ayra tetap dengan keinginannya.

Ayra ingin mereka—dirinya dan Jendra yang dulu, tapi sepertinya Jendra tak bisa.

Kalau Ayra ingin ini semua berakhir, Jendra pastikan mereka yang dulu tidak akan pernah ada. Jendra tidak bisa untuk terus berada dalam  kehidupan Ayra ketika ia tahu sudah sebanyak apa ia membuat perempuan cantik itu menangis. Dengan begitu, Jendra juga punya kesempatan untuk menyembuhkan luka hatinya. Tidak ada mereka yang dulu artinya ia dan Ayra sama-sama menggunakan waktu itu untuk saling menyembuhkan luka, masing-masing. Bukankah begitu lebih baik?

"Kasih tahu gimana caranya bilang ke Ayah, dan aku akan mel—"

"Aku mau kita yang dulu, tanpa harus merubah status kita sekarang," potong Ayra dengan suara lantang, setengah berteriak seperti sudah lelah dengan semuanya. Ayra melepaskan genggaman tangannya sebelum akhirnya mengangkat kedua tangannya untuk menutupi wajahnya.

Ayra kembali menangis, bahunya bergetar. Namun karena merasa harus berbicara seperti yang Jendra mau, pada akhirnya ia menghapus air matanya kasar. Dengan mata yang basah—sangat basah maksudnya, ia menatap sang suami yang terlihat kebingungan.

"A—aku enggak mau ada perpisahan di pernikahan kita. Aku mau kita menjalani pernikahan ini dengan sebenar-benarnya pernikahan, Jendra! Itu yang aku maksud dari awal, tapi kenapa kamu malah mengartikan lain?" Dengan tersendat-sendat karena dirinya kembali menangis, Ayra kembali berbicara.

Cukup! Sudah cukup hatinya menahan sakit ketika Jendra selalu membahas hal yang menyerempet perpisahan. Mengembalikannya pada Ayahnya? Ayra ingin mengutuk, merutuki, dan mengumpati Jendra saja rasanya. Semudah itu Jendra berkata seperti itu di saat dirinya ingin hubungan mereka membaik.

"Ay, a-aku ...." Jendra menatap Ayra yang kini menatapnya tajam meski air mata lagi-lagi lolos dari kedua matanya.

"Kamu bodoh! Jendra bodoh! Kamu kira aku barang yang bisa kamu minta terus kamu balikin segampang itu ke Ayah. Lelaki brengsek!" racau Ayra dengan nada kesal di tengah tangisnya.

Dengan segera Jendra menarik tubuh Ayra agar masuk ke dalam pelukannya. Dengan kedua lengan kokoh yang melingkari tubuh Ayra, Jendra berusaha menyamankan posisi peluknya, membiarkan istrinya meraung, terisak, dan mengeluarkan semua umpatan seraya memukul-mukul dadanya lemah.

Mata Jendra memanas, namun kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum. Dirinya bahagia.

"Ay."

Tenggorokannya tercekat, Jendra tak mampu meneruskan ucapannya karena masih berada di antara percaya dan tidak percaya. Ia bahagia, memang, sangat. Tapi ia tak mau besar memupuk harapan atas apa yang diucapkan oleh Ayra tadi. Demi apa pun, alasannya masih sama ketika ia harus berpikir banyak untuk merengkuh tubuh Ayra ke dalam peluknya. Jendra takut akan sebuah penolakan, lagi.

°°°

LITHE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang