Bagian 4

49 14 3
                                    


Malam ini aku baru kembali dari ice rink setelah nyaris 3 jam tanpa henti berlatih berputar dan melompat diatas air yang mengkristal itu. Mama juga baru pulang setelah mengeluh kalau tangannya sudah tidak cepat lagi dalam memotong makanan. Meski begitu, dia tetap saja bertempur di dapur kami dengan senandung kecil dari mulutnya yang menandakan kalau mama memang takkan bisa berjauh dengan memasak.

"Beneran pertandingannya di Indonesia?"

Aku menghela nafas keras. Ini sudah kesekian kalinya Zoa menanyakan hal yang sama setelah kuberikan poster turnamen figure skating yng akan diadakan disini. Malas aku menjawabnya.

"Dih jawab dong!"

"Lo lihat aja itu dimana."

"Aneh aja, biasanya kamu selalu tanding diluar negeri sampai berminggu-minggu. Ini pertama kalinya ya jadi tuan rumah? Pasti besok poster ini udah tersebar di Avicenna."

"Lebay banget sampai bawa Avicenna. Nggak mungkinlah."

"Mau taruhan sama aku? Nanti kamu pasti bakal lihat poster yang jauh lebih gede dari ini, tertempel disemua penjuru Avicenna."

"Nggak mungkin, lebay banget. Kalo semua itu nggak ada, gue bakal dapet apa dari lo?" Hal kecil yang bisa aku dan Zoa lakukan, taruhan. Tapi tenang saja ini bukan termasuki berjudi, kami meyakini hal itu.

"Kamu mau apa?"

"Bakal gue kasih tau kalau nanti gue yang menang."

"Males banget sok rahasia bikin penasaran. Pokoknya kalau aku yang menang, mau lihat rusa nggak mau tahu!"

"Deal!" Kusanggupi taruhannya.

Zoa memang memiliki obsesi dengan hewan itu. Entahlah padahal sudah kelas satu SMA, tapi dia mendadak berubah menjadi anak TK jika melihat rusa. Selain itu, mata besar yang Zoa miliki juga sekilas mirip rusa tak heran kalau dia memang begitu menyukai hewan herbivora itu.

Saat masih kecil dulu aku sering bertanya, apa benar Zoa adalah kembaranku? Atau jangan-jangan dia jelmaan rusa yang dikutuk jadi manusia? Untungnya pertanyaan itu sudah tak pernah terbawa lagi sekarang. Bisa perang dunia jika Zoa kembali mendengarnya.

"Kakak, adek, ayo makan!"

Teriakan mama serta semerbak aroma masakannya, membuat aku dan Zoa berlari ke ruang makan. Kami selalu tak bisa menunda makanan yang dibuat mama. Takkan pernah kusia-siakan masakan dari kepala koki restoran dan hotel bintang lima yang paling terkenal ini, apalagi menikmatinya bagai tamu VVIP.

Kami duduk melingkari meja makan kecil dan mengisi 3 dari 4 kursi. Makanan yang disajikan mama selalu menjadi juara, ayam yang dia masak bagai sudah dibumbui sihir yang mampu melupakan segalanya sangking nikmatnya. Tidak ada percakapan di meja makan. Selain mama selalu melarang untuk mengobrol selama makan, kami terlalu fokus pada piring masing-masing seolah tak mau ketinggalan barang segigit pun.

1 jam kemudian, meja makan sudah kembali rapih dan bersih. Tidak ada piring atau makanan yang ada diatas sana. Zoa langsung masuk ke dalam kamarnya setelah mencuci piring, sementara mama baru saja masuk ke dalam kamar mandi samping menenteng handuknya. Kini hanya ada aku seorang duduk didepan televisi meski mata dan tangan terlalu sibuk dengan ponsel membaca pesan masuk.

Ting! Notifikasi baru yang langsung menampilkan nama Sutan disana. Tumben sekali anak itu mengirim pesan malam-malam begini.

Sutan : "Sagara lo lagi dimana? Masih latihan?"

THE SECRET OF SAGARA :: forsyice [✔]Where stories live. Discover now