Awal

1.3K 84 2
                                    

Semua hal selalu berasal dari sesuatu yang sederhana. Seperti alam semesta yang berasal dari sebuah bola gas raksasa, seperti manusia yang berasal dari setetes air dan segumpal darah, seperti pohon tinggi yang berasal dari sebuah benih kecil, juga seperti sebuah kisah yang berawal dengan satu kata pembuka.

Hai.

Perempuan itu mengetuk-ngetukkan jemarinya diatas keyboard sambil membaca berulang-ulang kata yang terdiri dari tiga huruf di layar laptopnya tersebut. Hai. Tampak sederhana, sebuah kata singkat yang biasa diucapkan oleh orang-orang ketika mereka bertemu atau berkenalan. Hanya saja kali ini, ia tidak benar-benar 'bertemu' dengan sang pengucap kata. Jangankan bertemu, ia bahkan tidak tahu bagaimana wujud dari sang lawan bicara yang bisa jadi berada di sisi lain dari dunia tempatnya berada sekarang.

Ia mendesah, meski sedetik kemudian jemarinya bergerak untuk mengetikkan pesan balasan.

Hai juga.

Ini pertama kali baginya berkenalan dengan seseorang melalui dunia maya—sebuah chatroom tepatnya—tanpa mengetahui rupa dari siapapun yang sedang ia ajak berbicara saat ini. Adalah sahabatnya yang merekomendasikan kegiatan ini sebagai upaya untuk membantu menyembuhkan penat yang belakangan menyergap benaknya.

"Cobalah saja dulu, banyak orang-orang menarik yang bisa kamu temui di situ," begitu sang sahabat membujuknya.

Kala itu, sang perempuan nyaris tertawa. Memangnya orang menarik macam apa yang bisa ia temukan di sebuah chatroom seperti ini? Alih-alih menarik, berdasarkan pengalaman teman-temannya yang lain, berjejaring via dunia maya seperti ini justru membuat mereka bertemu dengan orang-orang yang memiliki tendensi negatif. Penipu, misalnya. Atau bagi yang perempuan, lelaki-lelaki brengsek yang entah kenapa merasa cara terbaik untuk membuka percakapan dengan orang lain adalah dengan mengiriminya foto alat kelamin mereka.

Mengerikan.

Tapi, sahabatnya meyakinkan dirinya bahwa ini berbeda. Ia sendiri yang sudah mencobanya dan kini, ia bahkan telah memiliki teman lelaki hasil "berkenalan" di chatroom tersebut.

Dihantui rasa penasaran dan bosan dengan rutinitas, sang perempuan pun menyerah. Sore ini, ia menukar kegiatan normalnya menyelesaikan buku pengembangan diri yang ia beli di toko buku impor minggu lalu dengan duduk diam di hadapan layar laptop dan berbicara dengan orang asing.

Ding!

Laptopnya berbunyi, tanda pesan masuk.

Sedang apa?

Perempuan itu menggigit bibirnya, bingung. Dari semua pertanyaan, mengapa orang ini memilih untuk bertanya apa yang sedang ia lakukan? Pertanyaan sederhana namun tanpa disadari, perempuan itu berpikir sedikit lebih keras untuk menjawabnya.

Sedang apa? Berkontemplasi, berdebat dengan diri sendiri, larut dalam kebingungan, penat, kesepian, dan masih banyak lagi jawaban yang melintas dipikirannya. Namun, sayangnya tidak ada satu pun yang ia rasa tepat untuk menjawab pertanyaan si orang asing di layar komputernya ini.

Tidak melakukan apa-apa. Kau? Akhirnya ia menjawab dengan sedikit ragu.

Berjuang

Perempuan itu tercenung membaca jawaban dari teman berbicaranya di ujung sana. Berjuang? Apa maksudnya berjuang? Apakah ia seorang tentara yang sedang ada di medan perang? Ah, tidak mungkin seorang tentara memiliki waktu untuk singgah di sebuah chatroom dan berbicara dengan orang asing. Apakah ia seorang pasien kanker yang tengah menunggu hasil diagnosis dari dokter? Atau ia adalah aktivis yang tengah bersembunyi dari kejaran aparat akibat menyuarakan pendapat terkait isu yang terlalu sensitif bagi keberlangsungan rezim yang tengah berkuasa?

Sebuah bunyi 'ding' membuyarkan lamunannya, si orang asing mengirim pesan lanjutan.

Berjuang untuk tetap bertahan hidup. Bernapas. Makan. Bekerja.

Tanpa ia sadari, sebuah senyum kecil merekah di bibirnya. Sahabatnya tidak salah, ia memang bisa menemukan orang-orang menarik disini. Ia pun mengetik pesan balasan sambil membuat mental note untuk berterima kasih kepada sang sahabat ketika mereka bertemu nanti.

Perjuangan yang menarik, selamat berjuang.

Tidak ada satu menit sebelum si orang asing kembali membalas pesannya. Perempuan itu mengangkat cangkir espresso-nya yang sedari tadi belum tersentuh dan menyesap sedikit cairan pahit di dalamnya. Senyumnya semakin lebar ketika ia membaca jawaban dari si orang asing.

Terima kasih. Apakah kau mau menemaniku berjuang?

Membaca pesan tersebut, jemari lentiknya kembali menari diatas keyboard, mengetikkan balasan dengan cepat.

Tidak masalah. Kebetulan aku pun sedang membutuhkan teman. Ya, aku akan menemanimu berjuang.

Bunga Matahari dan Kesatria KayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang