21 Hari

212 37 0
                                    

Seorang perempuan dengan terusan kuning pucat melangkah memasuki sebuah kedai kopi. Senyumnya yang hangat bagai menyingkirkan awan mendung yang menggelayuti kota sejak pagi tadi. Seperti sudah menjadi kebiasaan, perempuan itu menyapa barista dan pramusaji yang ada di kedai kemudian duduk di salahsatu sudut bangunan kayu tersebut.

Seorang pramusaji menghampiri sang perempuan dengan senyum ramah. "Seperti biasa?"

Perempuan itu mengangguk dan pelayan itu pun paham. Sesaat setelah sang pelayan pergi, perempuan itu mengeluarkan laptop dari tasnya dan menyalakan perangkat tersebut. Tak lama ia sudah dihadapkan pada sebuah paragraf yang masih dibiarkan menggantung tanpa akhir sejak seminggu yang lalu. Perempuan itu menghela nafas lelah.

***

Lelaki itu datang seperti biasa. Duduk di sudut yang sama di bagian luar kedai, memesan secangkir kopi tubruk panas dan menyalakan sebatang rokok. Udara hari itu sejuk karena mendung yang menggelayut sejak pagi menghalangi panasnya sinar matahari masuk ke bumi. Matahari. Ia menghela asap rokoknya ke langit sore yang mendung.

Bagaimana kabarmu hari ini, Bunga Matahari? Tetap bersinarkah engkau meski langit di atas sana sedang bermuram sendu?

Pikiran itu tiba-tiba melintas di benaknya tanpa bisa distop. Tujuh hari. Tujuh hari ia tidak berbicara dengan sahabat dunia maya-nya itu. Sudah seminggu ia memutuskan untuk bersembunyi, menghindar. Banyak masalah yang membebani pikirannya akhir-akhir ini dan ia hanya tidak ingin Bunga Mataharinya ikut terseret kedalam arus kehidupannya yang sudah cukup gila, bahkan bagi dirinya sendiri.

Bunga Mataharinya. Pria itu nyaris terbahak karena pikirannya sendiri. Sejak kapan ia memiliki hak untuk menambahkan kata –nya dibelakang nama panggilan sang teman bicara seolah-olah dia adalah miliknya?

Lelaki itu kemudian melirik kearah sebuah meja di area indoor kedai, berharap menemukan sesosok perempuan bergaun kuning pucat sedang duduk disana, sendiri—mungkin dengan laptopnya. Lelaki itu penasaran apa yang dilakukan perempuan itu dengan laptopnya. Menuliskah ia?

Namun ternyata meja itu kosong. Ia pun memalingkan wajah dengan kecewa dan kembali menghisap rokoknya dalam diam.

***

Bunga Matahari, mungkin ini sulit dipercaya... Aku merindukanmu.

***

Perempuan itu suka menulis, tapi dia tidak akan pernah mau mengatakan bahwa dirinya adalah seorang penulis. Bukannya ia merasa titel 'penulis' adalah sesuatu yang buruk, hanya saja ia tidak yakin dirinya pantas untuk disebut sebagai seorang penulis. Bahkan setelah dua bukunya terbit.

Perempuan itu lebih suka menyebut dirinya penikmat tulisan. Seperti seorang penikmat lukisan, atau penikmat fotografi. Ia menikmati tulisan, menikmati membaca kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, lembar demi lembar. Ia menikmati imaji visual yang ia ciptakan sendiri dari rangkaian kata-kata di atas lembar putih. Ia menikmati setiap hurufnya seperti seorang sommelier menikmati setiap tetes wine yang menyapu indra perasa mereka.

Tapi hari ini ia merasa lain. Perempuan itu tidak tahu apa yang membuatnya berhenti menulis, mengetukkan jemarinya di atas meja kayu, kemudian menghapus kembali semua kata-kata yang telah tertoreh di layar laptopnya. Sudah 5 kali ia melakukannya, semata-mata karena ia tidak bisa menikmati tulisannya sendiri. Ia merasa apa yang tertulis tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ia ingin curahkan.

Tidak seperti biasanya, tentu. Biasanya ia bisa menulis terus-menerus tanpa membaca apa yang telah dituliskan sebelumnya lalu berhenti ketika ia sudah menyelesaikannya atau ketika akhirnya otaknya menolak untuk memberikan ide lagi.

Hari ini memang tidak seperti biasanya, begitu pikirnya. Matanya berkali-kali tertumbuk pada sudut layar laptopnya tempat sebuah notifikasi pesan singkat biasanya muncul.

7 hari.

Tepat seminggu sejak Kesatria Kayu mengembalikan inspirasinya. Tepat seminggu pula sejak teman bicaranya itu tiba-tiba menghilang seperti kabut, meninggalkan perempuan itu begitu saja tanpa pesan apapun kecuali satu. Benang Merah.

Perempuan itu mungkin tidak mau mengakuinya, tapi ia menghitung.

21 hari.

Butuh 21 hari bagi seseorang untuk membiasakan diri akan sesuatu. Dulu sang nenek mengatakan itu untuk memotivasinya agar mau makan sayur. Selama 21 hari penuh beliau selalu memberikan perempuan itu menu makanan yang berisi sayur-sayuran tanpa pernah alpa. Di hari ke 22, sang nenek tidak memasakkannya menu sayuran sama sekali dan ia langsung merasakan sesuatu yang aneh, seperti ada yang hilang. Tentu saja itu hanya sebagian dari fragmen kenangan masa kecilnya yang tidak terlalu relevan, tapi itu membuatnya menyadari sesuatu.

49 hari.

Perempuan itu tidak mau mengakuinya, tapi ia selalu menghitung. 49 hari. Sudah 49 hari sejak ia pertama kali berbicara dengan sang Ksatria Kayu.

Butuh 21 hari bagi seseorang untuk membiasakan diri akan sesuatu. Kata-kata sang nenek kembali terlintas di benaknya. Butuh 21 hari untuk membiasakan diri akan sesuatu, dan 21 hari berikutnya untuk mengubah kebiasaan itu menjadi rutinitas. Perempuan itu menyadarinya sekarang. Mengapa ia selalu melirik ke sudut layar laptopnya, mengapa ia selalu membiarkan aplikasi chatroom itu dalam keadaan standby, mengapa ia bolak-balik mengecek status profil teman bicaranya...

Ia akhirnya mengerti perasaan yang menyelimuti dirinya selama tujuh hari terakhir ini. Meski perempuan itu bukan tipe yang mudah mengungkapkan perasaannya, ia akui kali ini ia kalah. Ia rindu. Pertanyaannya adalah, pantaskah ia?

***

Aku tidak ingin mengakuinya, tapi aku merindukanmu, Kesatria Kayu. 

Bunga Matahari dan Kesatria KayuWhere stories live. Discover now