3

2.5K 198 3
                                    

Cerita ini juga ada di KBM APP. cari saja Aniswiji disana, mau infokan juga kalau disana lebih rajin updatenya.

Jangan lupa vote dan komen. Tapi memang sepi ya lapak ini, tak apa. Mungkin kalian belum tertarik 😢

Selamat Membaca

Hari-hatiku mengalir begitu saja, tidak ada hal spesial yang aku rasakan. Meskipun sesekali Abang dengan Kak Anik selalu merecokiku dengan perjodohan yang ingin mereka lakukan, dengan siapa lagi kalau bukan Pak Duda, Rian Wijaya.

Kalau dari segi fisik kalian tahu seperti apa fisik seorang abdi negara, apalagi umurnya relatif masih muda meskipun sudah menginjak kepala tiga. Beda kasus kalau sudah tua. Semua yang ada di diri Rian bukan hal yang bisa diremehkan, karir bagus, anak lucu, pribadi yang baik. Itu yang aku lihat setelah beberapa kali bertemu dengannya.

"Hai, dek terima saja tawaran dari Rian. Kan kamu setelah pulang dari sekolah tidak ada agenda. Lagian ya kamu guru play groub, bisalah ngurus dua krucil itu. Ajak ke rumah Kakak juga boleh." Ucapan Kak Anik membuatku berpikir matang-matang. Pasalnya saat mengajak Kayla pulang dari rumahnya, Rian menawarkan sebuah pekerjaan yang menurutku ringan tapi cukup memakan waktu. Mengasuh kedua anaknya, dia juga tahu kalau aku seorang guru play groub yang memiliki banyak waktu setelah sekolah selesai.

Sampai saat ini belum aku jawab tawarannya, karena aku harus matang saat menerimanya. Mengasuh itu bukan perkara mudah, apalagi ini perkara anak seorang calon jendral, pasti tuntutannya banyak.

"Kalau Adek bisa, ya silakan. Ibu tidak akan menghalangi. Lagian bisa juga ini sebagai ladang pahala buat kamu." Kata Ibu tempo hari saat aku mengutarakan tawaran Rian.

Dan sekarang aku berada di rumah Kak Anik memandang tiga bocah kecil yang baru saja pulang dari sekolah TK.

"Tante.... Tante mau jadi Bunda Quin?" Ucap Quin dengan polosnya sesaat aku meneguk air mineral. Untung saja airnya tidak menyembur keluar akibat pertanyaan polosnya itu.

Siapa yang mengajari anak kecil ini?

Aku menatap Quin lembut, "itu kata siapa Quin?"

"Kata Papanya Kayla. Kemarin Papanya Kayla bilang kalau Quin akan punya Bunda." Jelasnya dengan binar bahagia.

"Oh, begitu. Quin lanjut main lagi saja." Jawabku mencoba mengalihkan perhatiannya.

"La Quin mau punya Bunda kaya Kayla."

Menghela nafas perlahan, aku tersenyum dan mengusap kepala Quin. "Iya nanti Tante yang akan jadi Bundanya Quin." Jawabku, meskipun hanya pengasuh sementara batinku.

"Janji?" Jari kelingking Quin bergerak untuk melakukan janji ala anak kecil. "Janji," jawabku dengan menautkan jari kelingkingku. Aku tidak tahu ini benar atau tidak tapi aku harap anak ini tidak akan sedih lagi.

Quin tersenyum bahagia dan kembali bergabung dengan Kayla dan Qian, meninggalkanku dengan pikiran yang berkecamuk.

"Jadi kamu terima tawaran Rian?" Ucap Kak Anik penuh selidik.

"Iya, lagian juga Abang bilang kaya gitu sama Quin. Kasihan kalau lihat binar Quin yang pingin punya Bunda.Nggak tega juga mau nolak." Jawabku pasrah.

"Terus sudah bicara sama Rian?" Menggeleng, aku meresponnya. Bertemu saja belum, kapan aku menjawab tawarannya?

"Yasudah nanti saja, tunggu Rian pulang, palingan jam empat. Itu orang baik banget, tanggungjawab, apalagi ya? Ekhm... kayaknya kalau punya istri bakalan dia cintai sepenuh hati deh." Promosi Kak Anik dihadapanku. Ya, begini kalau bicara sama Emak-emak bisanya menilai orang lain apalagi duda keren.

"Sudah?"

"Hahaha, kenapa muka kamu suntuk benget sih dek. Kan Kakak bicara fakta."

"Iya tahu, tapi nggak usah lebai deh. Aku tahu kalau Kakak ngefanskan sama Ayahnya kembar?" Tanyaku penuh selidik.

"Ngaco kamu, kalau aku ngefans sama Ayahnya kembar bisa didepak sama Abang kamu. Punya Abang kamu aja aku sudah bersyukur."

"Makanya jangan puji laki lain, suami aja satu nggak habis mau cari yang lain."

"Idih." Kak Anik pergi meninggalkanku sendiri saat dia kalah debat denganku. Hahaha, punya Kakak satu kok ya absurt banget. Nggak bersyukur punya laki kaya Abang.

***

"Qian Quin mana?" Aku mendongak mencari sumber suara, siapa lagi kalau bukan Ayah si kembar.

"Di kamar, mereka tidur. Kayaknya capek habis main sama sekolah." Jawabku, mengantongi ponsel dan menatap tubuh yang duduk di sofa seberangku. Dengan masih menggunakan seragam kebesarannya, kesan pertama yang aku lihat adalah dingin tak tersentuh. Bukan sombong, tapi lebih ke menjaga jarak.
"Saya mau menerima tawaran anda." Ucapku kemudian, aku sudah berpikir matang. Lagian juga aku bisa mengajak si kembar main kesini kalau malas di rumahnya.

"Yakin?"

"Yakin." Aku mengangguk pasti.

"Baiklah, kamu harus sedia setiap saat kalau saya butuhkan. Kamu tahukan kalau pekerjaan saya tidak pasti. Maksud saya sekarang mungkin saya bisa di kota ini, tapi bulan depan mungkin saya bisa ditugaskan ke luar kota. Dan bahkan bisa seminggu lebih disana." Jelasnya panjang lebar.

Apa? Seminggu lebih? Kenapa aku tidak berpikir sampai disitu?

"Berarti tidak pasti begitu?" Dia mengangguk.

"Pekerjaan saya itu mobile, kadang di kota ini terkadang besok ke kota lain. Tidak jarang juga saya harus meninggalkan kedua anak saya sendirian. Makanya saya membutuhkan orang seperti kamu."

Baiklah, "iya saya terima."

"Good, baiklah kamu bisa bekerja mulai besok setelah jam kerja kamu selesai di sekolah. Nanti juga saya akan sediakan tempat tidur untuk kamu di rumah saya. Biar tidak keberatan jika saya ke luar kota."

Semoga aku siap menjalani tanggung jawab ini, mungkin akan berat apalagi pengalaman mengurus anak tidak punya sama sekali hanya pengalaman di sekolah itu saja hanya beberapa jam.

Nampak Qian dan Quin sudah terbangun, mungkin karena suara Ayahnya yang keras membuat mereka terbangun. Dengan langkah pelan dan wajah sembabnya mereka berjalan mendekat ke tubuh Ayahnya. Memeluk tubuh yang mungkin sangat mereka rindukan.

"Anak Ayah sudah bangun? Pintar tidak menangis." Kecupan didaratkan ke kening kedua bocah itu mengabaikan diriku disini.

"Sudah. Quin senang banget lo, Yah."

Rian nampak memandang Quin dengan wajah penuh tanya. "Kenapa Sayang?"

"Quin mau punya Bunda."

"Maksud Quin?"

"Tante Fira mau jadi Bunda Quin. Ya, kan Tan?" Memejamkan mata aku bingung harus menjawab, apalagi tatapan Rian yang menuntut untuk diberikan penjelasan.

"Bukan saya yang mengajari Quin lo, Pak. Tapi Abang saya yang tidak bisa menjaga bibirnya." Aku meremas kedua tangan, bagaimanapun dihadapkan dengan tatapan calon jendral itu sesuatu yang menakutkan bagiku.

Tbc

Shaffira ✔ (KBM & KARYAKARSA)Where stories live. Discover now