BAGIAN 1

626 74 0
                                    

Cerdas dan pandai menghasilkan uang. Menjadi julukanku akhir-akhir ini. Komentar-komentar pujian dengan hinaan tersembunyi juga menemaniku belakangan ini. Jangan kaget jika di akun sosmedku banyak ratusan komentar hinaan bernada halus. Tak mengapa, aku cukup senang melihat hal itu sebab bisa kujadikan motivasi untuk terus bangkit. Buktinya diusiaku yang  baru menginjak 19 tahun aku akhirnya dapat masuk ke jajaran orang terkaya se-Indonesia.

Jadwal kegiatanku sering kali padat penuh dengan kegiatan segudang. Namun, sangat disayangkan kehidupan keuanganku berbanding terbalik dengan kehidupan keluarga serta pertemanan yang penuh drama.

Sejak kecil aku selalu tersisihkan, semua orang selalu saja memandang rendah diriku akibat rupaku. Semua orang senantiasa membandingkanku dengan para Kakak-kakakku yang bagaikan dewa dan dewi jatuh dari kayangan. Atas dasar diremehkan, diriku pun terdorong untuk selalu meraih prestasi di sekolah dan menyempatkan diri untuk menjalankan kegiatan produktif yang menghasilkan. Jangan heran jika banyak teman sekolahku yang memanfaatkan diriku karena cerdas di bidang akademik.

Usia ke lima belas tahun dengan modal nekat aku meminjam uang ke teman sekolahku yang kaya raya yang tiap harinya selalu menyontek padaku. Dengan  timbal balik bunga, diriku harus menjadi babunya selama  uangnya belum ku kembalikan. Selama 2 tahun lebih aku menjadi suruhan temanku itu, dengan berjuang merintis sebuah usaha yang akhirnya bisa menghantarkanku kepada kekayaan diusia muda. Aku merasa beruntung karena mengambil keputusan untuk meminjam uang kepada teman dengan tujuan membuat sebuah usaha, walaupun aku harus sedikit menurunkan harga  diriku dengan menjadi suruhan temanku itu. Apalagi diawal-awal aku meminjam uang, aku selalu dikerjain habis-habisan oleh temanku itu. Tapi, ya gak papa sih lagian sekarangkan hasilnya udah terlihat aku udah jadi kaya akan uang bahkan melebihi dia.

Aku sombong? Itu udah pasti karena belajar dari pengalaman aku selalu dihina, jadi saat aku kaya, ini saatnya aku beraksi. Namun, sikap sombongku  itu ternyata malah menjadikan orang-orang disekelilingiku makin membenci diriku. Tak apalah mereka membenciku yang penting aku kaya, era sekarangkan yang penting punya uang semua bisa dibeli. Untuk urusan peribahasa roda pasti berputar, pikirannya nanti aja deh sekarang aku harus nikmati hasil jerih payahku.

Jika diingat-ingat sudah bertahun-tahun aku hidup penuh celaan. Sudah khatam deh, manis pahitnya ucapan manusia.  Tapi, yang membuat aku nggak habis pikir, kenapa sih orang jaman sekarang nilai orang dari wajah. Padahalkan atitude lebih penting, walaupun akhir-akhir ini sih atitude-ku juga agak memburuk. Setidaknya dulu atitudeku baik tapi masih aja atensi kehadiran diriku kurang dihargai. Makanya sekarang aku sombong dan agak bersikap bodo amat, hal itu justru membuat orang-orang menambah daftar stereotipe akan diriku.

Emang ya, kebanyakan manusia itu makhluk so tahu dan merasa maha benar.

 Termasuk, diriku. Maybe.

***

“Aww!” aku memegangi lututku yang baru saja berciuman dengan lantai, sungguh menyakitkan.

“Ya ampun, maaf gak sengaja!” ucap sang penabrak yang ku yakini salah satu karyawanku karena di lehernya tergantung sebuah name tag. Enak aja, dia bilang begitu. Padahal jelas-jelas aku lihat, dia itu sengaja. Apalagi ucapan maafnya penuh nada meremehkan lagi. Degan berdalih gak sengaja katanya. Gak sengaja dengkulmu.

Kalau beneran gak sengaja, harusnya matanya tuh gak usah ngelihat kayak mencibir gitu dong. Bikin pengin aku colok deh tuh mata segede biji jengkol. Heran, nih orang gak tau apa aku kan pemilik perusahaan.

“it’s okay, tolong bantuin berdiri dong mbak!”

Gedebug!

Tangan yang tadinya membantuku tiba-tiba dilepas olehnya begitu saja, membuat tubuhku terjatuh lagi. Baru kali ini memakai sepatu heels tinggi, ditambah ketemu orang gak ada kerjaan bikin sengsara aja pagiku ini.

“Aduh, maaf tanganku lemes nih belum ada tenaga soalnya tadi gak sarapan.”

What? Alasan macam apa itu, ngada-ngada aja nih orang. Kalau gak pakai heels gak bakal tuh tadi minta tolong, tau bakalan kayak gini mending berdiri sendiri aja tadi tuh. Harus ke tukang urut kayaknya nih, soalnya jatuh dengan keras dua kali. Takutnya, kalau nggak ke tukang urut nanti ada yang bermasalah sama persendianku.

“Loh mbak Zalina? Kenapa bisa jatuh, saya bantuin ya mbak,” sapa manajer keuangan sambil membantuku berdiri.   

“Kamu kenapa gak bantuin mbak Zalina, dia itu pemilik perusahaan ini loh,” lanjutnya yang membuat orang yang tadi menabrakku tersentak kaget.

Mungkin dia kaget, orang macam diriku yang jadi pemilik perusahaan. Dalam pikirannya bisa pasti tertanam bahwa orang yang punya  perusahaan ini punya paras yang rupawan. Bukan macam diriku ini.

“Lain kali, kalau kegiatan awal bulan datang ke aula ya mbak. Biar tahu mana atasannya, jangan dilewatkan walaupun kegiatan tersebut cuman sekedar arahan dan informasi bulanan mbak,” kesalku kemudian berjalan tanpa mengucapkan terimakasih kepada manajer tadi. Dan ketika  melewati karyawan yang tadi menambak, aku meliriknya sinis.

Di perusahaan fashion ini aku memang selau menerapkan kegiatan awal bulan yang berisi arahan dari para atasan. Aku pun juga selalu hadir di sana walaupun aku jarang sekali berbicara. Mungkin setahun hanya dua kali, aku berbicara di kegiatan tersebut. Tapi aku kan selalu duduk dikursi khusus, belum lagi kamera selalu tersorot padaku acap kali namaku dipanggil sebagi pemilik perusahaan.

“Zalina, kamu kenapa kok malah mau balik lagi? Ini kan masih pagi,” tanya asistenku, dia adalah orang yang terbilang agak baik padaku saat masih diriku ini susah.

“Gapapa Kak,”

Aku masuk ke dalam mobil untuk menuju ke tukang pijat langgananku. Aku gak tahu siapa namanya sih, tapi tiap kali aku jatuh pasti ke sana sebab almarhumah pembantuku bilang saat aku jatuh harus ke sana biar tubuhku diurut. Beliau pun orang yang pertama kali membawaku ke tukang urut itu, hingga akhirnya sampai saat ini tiap kali aku jatuh pasti aku  ke sana.

Saat sampai disana aku disuruh menunggu diluar karena banyaknya pasien, diringi rasa bosan akhirnya aku pun membaca buku cerpen  yang  kebetulan ada di depanku. Ceritanya lumayan asyik sih, hingga akhirnya tak terasa bagianku ke dalam untuk diurut.

Setelah diurut, aku berniat untuk berjalan-jalan terlebih dahulu dengan menggunakan mobil. Tapi nasib sial lagi-lagi menghampiri, diriku malah teresat disebuah jalan yang lumayan seram walau tersinari matahari tetap saja jalan tersebut  menyeramkan. Di tengah kondisi tersebut ban mobilku malah bermasalah, mau gak mau akupun turun dari mobil. Namun naas, saat sedang mengeluarkan ban mobil dari bagasi belakang mobilku. Sekelompok pria yang kira-kira berjumlah lima orang berlari menghampiriku dengan membawa senjata tajam seperti  parang dan sebagainya. Aku yang kaget melihat orang-orang tersebut akhirnya berlari tanpa memperhatikan jalan sehingga saat kakiku tersandung, sebuah batu sudah menunggu hempasan kepalaku.

Penglihatanku mulai mengabur, aroma darah segar juga memenuhi indra penciumanku.

Mungkin, inikah akhir hidupku?

MeaninglessOnde histórias criam vida. Descubra agora