Bab 10

1.3K 199 36
                                    

Jia mencoba untuk memahami materi yang hari ini sudah dijelaskan panjang lebar oleh dosennya, memicingkan mata, berdecak kesal hingga mengetuk-ngetuk ujung pena pada buku yang terkembang di atas meja belajarnya. Tak henti-hentinya mengeluhkan betapa sulitnya soal yang sedang ia kerjakan saat ini, itu membuatnya berpikir kenapa dahulu malah semangat sekali mengambil bisnis.

"Ah, sudah. Aku tidak bisa, otakku payah!" katanya garang, menutup buku dengan sedikit kasar lalu bersandar pada kursi dengan pipi yang menggembung.

Matanya menatap kesal pada tumpukan buku, dari enam puluh banyak soal yang ia kerjakan sejak dua jam yang lalu baru lima yang dapat ia selesaikan. Jia tidak terima jika ada orang lain yang mengatakan dirinya bodoh, tetapi bahkan untuk menyelesaikan soal saja ia tidak bisa mengatasinya dengan baik, lantas disebut apa dirinya?

Pada akhirnya ia memilih bangkit dari kursi, mengintip melalui pintu kamar apakah ada tanda-tanda Jungkook sedang berkeliaran di luar kamar atau tidak, sebab ketika pria itu pulang sore ini dirinya sedang duduk bersantai memakan kudapan sementara di lantai sudah berserakan bungkusan makanan ringan.

Tentunya Jungkook marah, menyuruh Jia untuk membersihkan semuanya lalu melarang untuk makan camilan jika tugas kuliahnya belum selesai. Terakhir ia melangkah dengan kepala tertunduk menuju kamar, sedikit kesal karena Jungkook melarangnya juga sudah bersikap kejam dan hampir membuatnya menangis, dirinya bahkan kurang ahli menggunakan sapu.

Ketika dipastikan keadaan di luar aman, Jia keluar dari kamar secara diam-diam berusaha untuk tidak menimbulkan suara dan berakhir Jungkook malah memergokinya. Menutup pintu dengan hati-hati lalu berjalan berjinjit sembari menggigit bibir, persis seperti maling, bahkan maling saja begitu leluasa berjalan di dalam rumah korbannya ketika beraksi.

Jia mengintip sedikit dari anak tangga, ruang tengah dan dapur tampak sepi, membuatnya bersorak gembira di dalam hati lalu kembali melanjutkan langkah menuju dapur untuk mengambil satu stoples bola biskuit cokelat yang disimpan di lemari pendingin. Ia pikir rencananya benar-benar berhasil saat itu sebab sama sekali tak menimbulkan bunyi keras.

Satu butir berhasil ia masukkan ke dalam mulut, tersenyum riang ketika rasa cokelat memenuhi mulutnya, lalu ketika pintu lemari pendingin ia tutup kembali dan tubuhnya berbalik di sana sudah ada Jungkook sedang berpangku tangan dan bersandar pada meja pantry yang membuatnya tersengir. Percuma saja sudah diam-diam turun ke dapur kalau ternyata ketahuan juga pada akhirnya.

"Eh, Uncle. Aku baru mau memanggilmu untuk makan ini bersama," katanya menunjukkan toples bola biskuit cokelat di dalam dekapannya.

"Tugasmu sudah selesai?" Jungkook menatap serius.

Jia menggeleng pelan, kepalanya sedikit tertunduk untuk menghindari tatapan Jungkook. "Belum."

Jungkook berdecak pelan mengambil toples dari tangan Jia lalu mengembalikannya ke dalam lemari pendingin, sementara Jia sudah cemberut, menatap kesal Jungkook sembari bertolak pinggang tak terima jika Jungkook melarangnya untuk makan camilan sampai tugasnya selesai.

"Aku akan selesaikan tugasku, berikan saja cokelatnya."

"Tidak bisa, selesaikan dulu tugasmu baru akan aku berikan." Jungkook menolak, menghalangi lemari pendingin agar Jia tidak bisa mengambil apa yang gadis itu inginkan.

"Iya-iya, nanti aku selesaikan."

"Sekarang."

"Nanti!"

"Sekarang."

"Soalnya susah, tahu! Kepalaku hampir pecah mengerjakannya!" teriak gadis itu dengan kesal, tahu-tahu wajahnya sudah memerah dengan sudut mata yang sedikit basah. "Kamu tidak akan mengerti kesulitanku, tidak akan!"

𝐓𝐡𝐞 𝐏𝐫𝐨𝐩𝐨𝐬𝐚𝐥 | ✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora