SATU

3.8K 536 408
                                    

“Bundaaaa… masa Samu bilang, Tsumu anak pungut..” Aku berlari kecil kemudian memeluk bunda yang sedang sibuk menyusun sarapan di atas meja makan. Ia tampak sedikit terkejut, kemudian tertawa kecil sembari memelukku erat.

Kulihat, Osamu datang menyusulku dengan wajah ditekuk. Ia duduk di meja makan tanpa bergebing sedikitpun, kedua tangannya asyik menyendok nasi uduk dan lauk yang sudah disediakan oleh bunda.

Pagi ini, lagi-lagi kami hanya sarapan bertiga. Setelah kutanya, ayah belum kunjung pulang kerumah karena pekerjaannya yang menumpuk. Padahal aku sangat merindukan sosoknya, juga uangnya.

“Samu, jangan gitu, ah.” Ucap bunda, ia menarik kursi dan membiarkanku duduk disana.

Osamu mendecik, bola matanya berputar seolah tak perduli. Ia masih fokus mengunyah makanannya sambil menatapku kesal. Aku membalasnya dengan senyum penuh kemenangan.

“Bun, kenapa sih Tsumu tuh di manjain banget? kayak dia bakal mati kapan aja..” Ketus Osamu tiba-tiba, membuat bunda ikut melempar gelas kaca kearahnya.

Untunglah Osamu menghindar dengan cepat, kalau tidak, mungkin kepalanya akan memuncratkan darah akibat gelas yang pecah disana. Ia beruntung, karena bunda hanya melemparkan gelas, bukan pisau.

Ekspresi bunda mendadak datar, ia menatap Osamu dengan wajah cemberut, kemudian berlalu pergi dari ruang makan. Sudah pasti ia marah besar atas perkataan Osamu. Mengingat diriku hanya memiliki satu ginjal sejak lahir, tentu saja hal itu membuat perasaannya semakin sensitif.

Lagipula, bagiku, aku bukanlah anak yang manja. Osamu saja yang tidak pernah berani mengungkapkan rasa sayangnya kepada ayah dan bunda. Ia selalu bersikap seolah-olah terabaikan di dalam keluarga ini.

“Jadi siapa yang anak pungut?” Ledekku pada Osamu yang sudah siap dengan sarapannya. Ia mentapku sendu, sebelum akhirnya pergi dengan tas ransel yang berada tak jauh darinya.

Bunda kembali dengan pengki kecil serta sarung tangan, kemudian memunguti pecahan gelas kaca yang berada tepat di belakang kursi tempat Osamu duduk tadi. Ia tampak mendengus beberapa kali, seolah menyesal karena tak dapat menahan emosinya.

~~~

Kuhisap vape dalam-dalam sambil bersandar santai di balkon kamar. Angin malam ini cukup kuat, membuatku sedikit merinding beberapa kali. Bibirku terbuka, bersamaan dengan kepulan asap yang keluar- kemudian melebur di udara.

“Tsum, pengharum ruang—Gila! Lo ngerokok?!”

DUAGHH!

Jemari Osamu yang mengepal itu, sukses menghantam wajahku ketika aku hendak berbalik menghadapnya. Kulepaskan vape yang berada dalam gengamanku, lalu meraih kerah baju Osamu. Aku membalas pukulan telaknya tadi beberapa kali sebelum akhirnya ia mendorong tubuhku untuk menjauh.

“Lo gatau diri, tau gak?!” Osamu memaki-ku.

“Apa-sih?! Lo ngatur tau gak?!” Balasku tak mau kalah.

Aku menerobos Osamu yang berdiri di pintu balkon, kemudian kurebahkan tubuh di atas ranjang. Malas rasanya jika harus mendengar Osamu menceramahiku. Di umur sembilanbelas tahun, tidak ada larangan merokok. Jadi ia tidak berhak melarangku melakukannya.

Dari kejauhan, Osamu tampak membuang vape yang tergeletak ke dalam tempat sampah di sisi meja belajar. Kemudian ia berdiri di hadapan cermin sambil melepas pakaian yang ia kenakan. Syukurlah, ia tidak kembali mengoceh hal yang tidak perlu.

Kupejamkan mata sejenak, hingga hidungku menghirup aroma citrus yang tidak kusuka. Aku bangkit, dan mendapati Osamu menyeringai di bawah alat pengharum ruangan yang tertempel di dinding.

Dysmorphia - Miya Twins [ END ] ✓Where stories live. Discover now