Momentous

19.1K 825 75
                                    

Chapter 38

APOV

Gue nggak bisa deskripsiin perasaan gue sekarang. Rasanya kayak nano nano, sayangnya nggak ada rasa manisnya sama sekali. Bingung, cemas, khawatir, shock sampai takut, semuanya campur aduk jadi satu. Gue berjalan mondar - mandir didepan salah satu ruangan di IGD. Gue masih nggak tahu keadaan istri gue, Prilly. Berulang kali gue acak - acak rambut gue. Kemeja gue sudah berantakan parah, lengannya gue lipat sembarangan, dasi gue pun mengalung tak sempurna. Gue menghela nafas gue dengan kasar. Gue coba buat nenangin diri gue sendiri, gue duduk dikursi yang sudah disediain untuk menunggu. Gue pejamin mata gue dan gue pijit pelipis gue. Dan gue juga nggak lupa selalu berdoa buat keselamatan istri gue dan anak gue.

Suara lagu Happy - Pharrel Williams membuat gue kaget. Gue ambil smartphone gue dari saku celana gue. Gue mengerutkan dahi gue saat gue lihat sebuah nama yang terpampang dilayar smartphone gue, mama Ully. Gue tarik nafas gue dalam-dalam, kemudian gue hembuskan lagi dengan pelan sebelum mengangkat panggilan itu.

"Assalamualaikum mah..."

"Walaikumsalam Tu. Prilly mana Li? Mama dari tadi telpon ko nggak diangkat-angkat sih. Mama boleh ngomong sama Prilly sebentar?"

"Mmm... anu mah...Prilly..."

"Prilly kenapa?? Dia nggak kenapa2 kan Li??"

"Prilly dirumah sakit mah."

"Astaghfirullah... ya udah, mama kesana sekarang. Rumah sakit yang biasakan?"

"Iya mah."

"Assalamualaikum tu..."

"Walaikumsalam mah..."

Gue menghela nafas setelah mama mertua gue mematikan sambungan teleponnya. Gue sandarin kepala gue ditembok, sambil memejamkan mata gue. Sumpah demi apapun, gue bener-bener khawatir setengah mampus. Ya Allah! Satu tepukan dipundak gue membuat gue membuka mata gue perlahan.

"Itte..." Seru gue.

"Gimana Prilly? Mereka baik-baik aja kan Te?" Tanya gue pada Itte, yang sekaligus dokter dan juga sahabat istri gue. Raut mukanya membuat gue semakin tidak tenang. Oh God.

"Prilly harus segera operasi caesar sekarang. Dia nggak bisa ngelahirin normal Li." Ucapnya pada gue.

"What?? Ngelahirin?? Kandungannya baru delapan bulan kan Te, kok bisa?!" Tanya gue panik. Sumpah, it's impossible.

"Gue nggak bisa jelasin sekarang. Prilly butuh lo saat ini. Gue harap lo bisa tenangin dia. Ikut gue Li." Sambungnya lagi. Gue mengangguk pasrah.

Itte menarik lengan gue. Dia membawa gue ke sebuah ruangan yang sebenarnya nggak gue suka. Bau obat-obatan sungguh menyeruak disini, hawa dingin sungguh sangat berasa. Dingin yang menusuk. Dia memberikan gue sebuah baju berwarna hijau yang mirip seperti yang dia pakai. Kami tidak banyak bicara saat ini. Rasanya lidah gue sudah kelu sekarang. Gue cuma bisa menelan ludah gue.

Jantung gue berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Itte membawa gue menemui Prilly, istri gue. Dia terbaring lemah disana. Air bening mulai memenuhi pelupuk mata gue. Gue mencoba menahannya agar air bening dari mata gue nggak terjun bebas sekarang. Itte memberikan sebuah isyarat buat gue untuk menghampiri Prilly. Dia juga meminta perawat untuk meninggalkan kami sebentar.

Prilly masih meringis kesakitan. Wajahnya terlihat sangat pucat. Air matanya mulai mengalir. Rintihannya yang pelan masih bisa gue dengar. Gue benar-benar nggak tega ngelihatnya.

"Hai sayang..." Ucap gue saat gue sudah berada disampingnya. Gue usap-usap pucuk kepalanya.

Dia mencoba untuk tersenyum. Gue cium keningnya dengan lembut. Gue juga mengelus - elus perutnya yang besar. Gue merasakan sebuah tendangan kecil, gue tersenyum. Kemudian gue cium perutnya. Setelah itu gue genggam tangannya.

This is CintaWhere stories live. Discover now