Tukang Bakso atau Intel?

133 67 120
                                    

Di suatu sore yang mendung dan lembab, Prajeno dan kawan-kawannya nongkrong di lapak bakso Mang Somad. Echan melirik Mang Somad sebentar, lalu mulai berbisik-bisik, memulai sesi perghibahan seperti yang sudah-sudah. "Masa kalian nggak ada yang nyadar kalau Mang Somad tuh sebenarnya intel?" katanya.

"Gue tahu lo demen sama gosip, tapi yang ini kayaknya lo ngadi-ngadi deh, Chan," sahut Jamal. Tentu saja sambil berbisik pula, sebab mereka tak ingin Mang Somad mendengarnya.

"Gue mau lo semua bermain nalar."

"Widih, bermain nalar, katanya. Biasanya juga kelakuan lo di luar nalar," Junaidi menepuk ringan kepala Echan yang kebetulan berada persis di sebelahnya, diikuti tawa Mark, yang kalau ketawa tangannya tidak bisa diam alias mampus dah tuh Si Jeno dicekik Mark.

"Gue serius. Coba kalian pikir, bakso disini seporsinya aja banyak banget. Masalah harga, gue udah survey semua warung bakso di daerah sini, dan disini yang paling murah."

"Chan, lo nggak ada gosip lain ya? Dari kemarin kayaknya yang jadi trending topic ini mulu deh. Ganti siaran coba. Remot mana remot?" Jihad bersuara.

"Lo kata gue TV?"

"Besok-besok lo buka akun instagram. Namanya Lambene Echan. Nah, bersaing dah tuh lo sama Lambe Turah. Yang setuju angkat tangan!" usul Mark, diikuti acungan tangan oleh Jamal, Prajeno, Chandra, Jihad, kecuali Junaidi.

"Lo kenapa nggak setuju, Jun?"

"Kalau namanya Lambene Echan Lemes baru gue setuju," jawabnya. Dan lagi-lagi, Mark tertawa terpingkal-pingkal. Memang dasarnya humor Mark ini receh. Jeno yang merasa nyawanya terancam, segera pindah di samping Jihad yang notabene manusia kalem.

"Kok pindah, Jen?" tanya Jihad.

"Lo mau lihat gue mati kehabisan napas gara-gara Mark?"

"Eh, jangan-jangan," Jihad dengan segala kepolosannya. Kalau Junaidi yang ditanya, pasti dia akan menjawab "ya udah, mati aja. Tapi sebelum itu, lo bikin surat wasiat dulu. Isinya menyumbangkan sebagian harta lo untuk kemajuan usaha sayur gue." Jeno bahkan sudah hafal dengan setiap susunan kalimatnya.

Ngomong-ngomong soal Mang Somad, bapak-bapak berkacamata itu sedang asyik dangdutan. Tembang legendaris dari Rhoma Irama semakin menambah kesyahduan di sore itu. Mang Somad--orang-orang sering memanggilnya itu--adalah penjual bakso keliling yang kemana-mana jalan kaki sambil mendorong gerobak. Jangan lupakan musik dangdut yang tak pernah berhenti diputar kecuali saat adzan dan waktu sholat. Tempat mangkalnya ada dua ; depan balai desa dan di samping polindes.

Entah Mang Somad ini tidak pelit soal porsi bakso dagangannya, atau dia memang intel seperti dugaan Echan, tak ada yang tahu. Yang jelas, setiap makan bakso Mang Somad, selalu Chandra yang membayar. Keenam kawannya sampai tidak enak hati. Tapi kata Chandra, anggap saja itu sebagai sedekahnya. Mengenyangkan pemuda-pemuda absurd itu bisa jadi sumber kebahagiaannya. Lagipula, dia tidak tahu cara menghabiskan uang jajannya yang segepok itu.

Bukannya Chandra tidak suka menabung. Dia sudah punya tabungan di beberapa bank yang berbeda. Saldonya tidak main-main. Di bank tempat Surya--anak Pak RT--bekerja, jumlahnya bisa untuk membeli stok semangka Mark selama dua tahun. Di bank lainnya, jumlahnya bisa untuk membeli satu unit motor ditambah dua sepeda. Tak perlu dibayangkan, sebab itu baru sebagian. Bahkan kalau Chandra berhenti sekolah lalu menjadi pengangguran abadi, sepertinya hidupnya tetap tidak akan susah. Aset orangtuanya dimana-mana. Ditambah lagi, Chandra hanya memiliki satu kakak laki-laki. Walaupun hartanya dibagi dua, tetap saja jumlahnya bisa untuk Chandra hidup tanpa bekerja.

"Hitung tuh, lo makan apa aja tadi?"

"Lo mau bayarin kita lagi? Jangan gitulah, Ndra. Masa tiap nongkrong lo mulu yang bayarin? Kan tadi gue yang ngajak," Mark merasa tidak enak.

Negentropy || 23/1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang