CHAPTER TWO→ grow up

826 103 9
                                    

[5 TAHUN KEMUDIAN]

Baru saja tiga minggu yang lalu Lee Jeno masuk sekolah menengah atas, pemuda itu sudah terkenal dikalangan para gadis.

Lee Jeno tumbuh menjadi pemuda yang tinggi dan tampan dengan catatan akademik yang luar biasa dan ditambah ke-aktifannya di ekstrakulikuler, membuat para pemuda disana iri, termasuk Mark.

Sementara Mark masih menjadi siswa yang paling sering nongkrong di ruang BK. Pada dasarnya adalah siswa berandal yang sering mendapat masalah. Bahkan guru-guru yang mengajarnya selalu mengeluh karena tingkah nakalnya pada saat didalam kelas.

.

.

.

Namun, sesuatu yang sangat Mark benci adalah fakta bahwa adiknya sudah tidak pernah membuntutinya lagi kemanapun pemuda itu pergi.

***

"Halo, Kak Mark," sapa seorang gadis yang tiba-tiba muncul didepan mejanya.

Mark yang sedang meminum air mineralnya pun hampir tersedak saking terkejutnya. Seumur hidup, baru kali ini ia disapa dengan makhluk yang disebut 'Perempuan'.

"Ah, h-hai ..."

Gadis itu menunduk malu sembari menyodorkan sebuah amplop berwarna merah muda kepadanya.

"Wih, surat cinta!" seru pemuda disamping Mark sembari melingkarkan lengannya di bahu temannya itu. Ingin melihat lebih dekat.

Mark yang sudah terlanjur terbawa perasaan, malah menunduk malu begitu seisi kelas menggodanya.

"Bukan untukmu. Bisakah kau berikan surat itu pada adikmu?" pinta gadis itu dengan nada dingin. Mendengar itu, Mark memandang amplop itu dengan tanpa ekspresi. Inginnya 'sih menolak, tapi ia tidak tega.

"Oh, ya sudah taruh saja di meja."

Menurut, gadis itu segera menaruh amplop miliknya di meja lalu pergi keluar kelas dengan perasaan gembira yang kentara.

Pemuda disampingnya menghela napas. "Jadi, kau tetap akan memberi surat ini?"

Mark mengangguk pelan. "Tentu saja, aku merasa kasihan kalau memberi harapan palsu kepada mereka, tapi sayangnya adikku tidak."

Pemuda berambut hitam legam itu terkekeh pelan. "Ya, adikmu memang kejam."

***

"Lee Jeno!"

Pandangan Jeno yang sedari tadi mengarah pada tumpukan buku tugasnya kini beralih menatap kakaknya, kemudian beranjak dari kursinya begitu Mark mengisyaratkan adiknya untuk menghampirinya.

Sebelum Jeno menanyakan kedatangannya, Mark langsung menyerahkan sepucuk amplop merah muda itu pada adiknya yang memandang benda itu heran.

"Jangan kau buat kecewa mereka."

Jeno mengangguk pelan. "Ya, aku tahu itu."

Tanpa pamit, Mark membalikkan badan, berniat untuk pergi. Namun, seruan dari adiknya membuat langkah pemuda itu terhenti.

"Pulang bareng?"

Mark mengernyit. Tumben sekali adiknya itu mengajak pulang bersama, biasanya 'kan ia selalu pulang sendiri. Bahkan berbincang pendek seperti inipun jarang mereka lakukan, apalagi pulang bersama. Mark tidak bisa membayangkan skenarionya akan seperti apa.

"Aku ada urusan," jawab Mark singkat.

"Apa kakak ingin berkelahi lagi dengan Kak Lucas?"

Mark mendelik. "Bahkan kalau aku akan berkelahi, itu bukan urusanmu, Lee Jeno."

Tiba-tiba pintu kelas dibanting dengan kasar. Kedua kakak-beradik itu teperanjat kaget sembari mengalihkan pandangan ke arah sumber munculnya bunyi keras itu. Dihadapan mereka kini terdapat seorang pemuda berambut hitam legam yang berperawakan tinggi dengan berpenampilan urakan seperti preman pasar itu merangkuli bahu kakaknya, siapa lagi kalau bukan Wong Lucas?

"Hei, aku pinjam kakakmu dulu, ya?"

Jeno mengedikkan bahu. "Lagipula aku sedang mengerjakan tugas."

Lucas terkekeh pelan begitu melihat respon Jeno yang terkesan tak acuh itu, lalu pamit dan membawa pergi Mark bersamanya.

***

"Sampai nanti!"

Mark tersenyum kecil sembari melambaikan tangan ke arah temannya itu. Setelah memastikan pemuda itu pergi, Mark segera melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah.

Pemuda bermarga Lee itu berjalan mengendap-endap saat tiba didepan pintu rumahnya. Kemudian membuka pintu dan segera masuk ke dalam. Yang pertama kali ia lihat adalah kegelapan yang berarti kedua orangtuanya sudah pulang bekerja dan sedang istirahat di dalam kamar.

Mark tersenyum lega, lalu kembali berjalan, namun kali ini ia tidak perlu berjinjit atau mengendap.

Namun, saat pemuda itu ingin menaiki anak tangga, tiba-tiba seluruh ruangan yang tadinya gelap gulita kini terang menderang, seakan ada seseorang yang menyalakan saklar lampu, menyambut kedatangannya. Mark menoleh takut ke belakang dan mendapati ayahnya yang tengah duduk di sofa menatapnya tajam.

"Habis darimana?"

Mark sontak membalikkan badan, lalu menunduk, tak berani bersitatap dengan ayahnya secara langsung.

"M-mengerjakan tugas di rumah teman."

Bohong. Mana sanggup Mark mengatakannya yang sebenarnya.

Pria paruh baya itu menggebrak meja dihadapannya, tanda bahwa pria itu marah sungguhan.

"Mana ada mengerjakan tugas sampai tengah malam begini!"

Mark meringis pelan.

"Ayah diberitahu adikmu kalau kau akan pulang larut malam. Kau berkelahi lagi, 'kan?"

Mark menelan ludah gugup. "T-tidak kok, yah." Bohong lagi.

"Jangan bohong!"

Mark mengangguk takut. Mengakui perbuatannya.

"Besok dan seterusnya handphone-mu akan ayah sita dan harus pulang bersama adikmu, mengerti?"

Mark membulatkan matanya. "Apa-apaan, yah-"

"Kalau tidak menurut, ayah tidak akan memberimu uang saku."

Mark mendengus malas, lalu mengiyakan perkataan ayahnya itu dan segera melesat pergi ke kamar. Tetapi, sebelum memasuki kamarnya, Mark menyadari bahwa adiknya itu tengah menguping pembicaraannya. Jeno terkesiap, menunduk malu saat kepergok oleh kakaknya itu.

"Aku akan selalu membencimu, Lee Jeno," desisnya dengan penuh kebencian sebelum memasuki kamarnya, meninggalkan adiknya yang memandang pintu kamar kakaknya itu dengan perasaan terluka.

***

A/N: menurut kalian siapa yang cocok buat meranin ayah sama ibu mereka?

A BOND OF BROTHERHOOD | nomark [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang