Anna duduk termenung sendiri di teras rumah beralaskan kursi bambu yang menampakkan halaman yang kecil namun cukup asri, ditemani langit senja dan secangkir teh yang uap nya masih sedikit mengepul
Sudah satu minggu semenjak kejadian di rumah sakit yang tidak pernah Anna sangka sebelumnya, kini Anna terpaksa ikut kedua orang tuanya pulang ke Bandung meninggalkan Jakarta dan tentunya Arkan beserta lukanya sendirian
Berulang kali Anna menegaskan kalau apa yang terjadi itu bukanlah salah Arkan, namun salah dirinya yang terlalu lemah dan payah dalam menentukan keputusan. Namun sang ibu seperti menutup telinga nya erat-erat, enggan mendengar penjelasan dari Anna. Apalagi hal itu juga di dukung penuh oleh Arsyad, yang membuat Anna dan sang ayah hanya bisa diam tak berkutik
Anna membuka ponselnya, helaan nafas lesunya kembali terdengar kala melihat seluruh panggilan telfonnya tidak pernah Arkan angkat, bahkan puluhan chat nya juga tak pernah terbalas. Arkan seperti sengaja menghindarinya
Pernah beberapa kali Anna mengirimkan email pada Max, tangan kanan Arkan untuk sekedar menanyakan kabar bos nya namun bernasib sama tidak mendapat balasan
Semua ini membuat Anna frustasi, walaupun baru secuil memory dirinya bersama Arkan yang Anna ingat, namun Anna yakin hati ini tidak akan berbohong, Anna selalu merasa nyaman damai dan terlindungi. Anna merasa istimewa, merasa dicintai dan yang terpenting Anna bisa menjadi dirinya sendiri
Suara decitan bambu disampingnya membuyarkan lamunan Anna. Kepalanya tertoleh, ternyata Dharma yang sudah terduduk sembari memandangnya lembut penuh kasih sayang
"Putri bapak kenapa?" Tanya Dharma lembut, ia menggeser posisi duduknya lebih dekat dengan Anna
Anna memalingkan wajah ke arah sebaliknya, lalu mengigit bibir bawahnya menahan air yang mulai kembali menggenang dipelupuk matanya
"Gapapa" jawab Anna singkat dengan suara serak yang tertahan
Dharma menghela nafas, menarik kepala Anna lembut dan mendekapnya erat. Anna tak kuasa menahan air matanya, isakkan kecil mulai bersautan, dengan air mata yang terus bergulir tiada henti
"Sudah seminggu kamu nangis terus, kenapa? hm?" Tanya Dharma sembari mengusap surai Anna sayang
Anna sempat terkejut, kenapa ayahnya bisa tahu kalau Anna setiap hari terus menangis? Padahal selama ini ia selalu menangis dalam diam dan mengunci kamarnya rapat-rapat. Bahkan Anna selalu sengaja membekap mulutnya sendiri agar isakkan nya tidak terdengar oleh orang rumah
"Anna- cuma rindu suasana Jakarta" elak Anna dengan suara kecil, tangannya bergerak mengusap kasar air matanya
Dharma terkekeh
"Rindu Jakarta, atau rindu seseorang di Jakarta?" Godanya sembari mencolek hidung kecil Anna gemas"Bapaakkk" rengek Anna malu-malu dengan semburat merah yang mulai bermunculan di pipi
Dharma semakin tergelak, namun tawanya dengan cepat mereda
"Sebelumnya, bukan maksud bapak ikut campur, tapi bapak hanya ingin memastikan. Apakah, Anna memiliki perasaan lebih pada putra Devan, Arkan?" Tanyanya dengan jeda hati-hatiAnna tertegun, kemudian kepalanya refleks mengangguk malu-malu. Hal itu membuat Dharma tersenyum kecil
"Anna cinta sama mas Arkan" gumam Anna jujur
Lega, itulah yang kini dirasakan Anna. Perasaan bimbang yang akhir-akhir ini membelit fikiranya kini mulai melonggar
"secepat itu?"
Anna mengangguk membenarkan, kemudian menggeleng bingung
"Entah, Anna juga bingung jika ditanya seperti itu, yang jelas Anna selalu merasa nyaman jika bersama mas Arkan"
YOU ARE READING
Love my Assistant [Season 2]
RomanceMenyesal Satu kata yang terus menggerogoti jiwa Arkana. Hatinya kosong, belahan jiwanya pergi dan itu karena ulahnya sendiri Mengapa Tuhan mengabulkan perkataan nya kala itu. Mengapa Tuhan tak mengizinkan untuk melihat wajah cantiknya lagi di dunia...