🍃Karena takdir mempunyai jalannya sendiri🍃
●●●●
Suara klakson yang begitu memekakkan telinga saling bersahutan. Banyak pula penghuni jalan yang berdecak kesal bahkan ada juga yang mengumpat.Saking kesalnya kah?
Di tengah jalanan yang luas nan bising itu terdapat seorang gadis yang sedang celingak-celinguk kebingungan sambil sesekali melirik jam tangannya, seolah-olah suara bising itu tak mengganggunya sama sekali.
"Duh mati gue. Sepuluh menit lagi masuk jam nya bu Erna. Kalo sampe gue telat lagi.. MAMPUS nilai semester gue pasti C. Sukur-sukur C gimana kalau E. Huaa moh gue gak mau." Oceh gadis itu meratapi nasibnya yang begitu malang.Setelah lampu merah berubah jadi hijau, tanpa mau membuang-buang waktunya yang sangat berharga di tempat itu, gadis itu segera menggas motor matic yang selalu setia menemaninya selama ini membelah jalanan ibu kota yang bisa dibilang cukup macet.
Bagaimana tidak macet, hari ini ia bangun kesiangan. Jangankan untuk makan, mandi pun tidak. Katakanlah ia jorok atau sebagainya sesuka yang kalian inginkan, tapi apa boleh buat karena waktu sudah tak memungkinkan untuk melakukan semua itu. Baginya, tiba tepat waktu di kampus adalah tujuan utamanya.
"Delapan lewat empat menit. Yawlohh gini amat nasib gue." Masih dengan ocehannya gadis itu memarkirkan sepeda motornya di tempat parkiran khusus roda dua.
Kaki jenjangnya mulai melangkah begitu tergesa melewati setiap koridor fakultas Ekonomi yang bisa dibilang sudah tak berpenghuni, yailah orang mereka sudah masuk sekitar 15 menit yang lalu.
Peluh membasahi keningnya, tapi tak urung membuat langkahnya terhenti. Dalam hatinya ia terus berdo'a semoga dewi keberuntungan berpihak padanya. Namun naas, sepertinya hari ini ia sedang tidak beruntung.
Brukk..
Suara benturan itu cukup keras. Dengan tidak elegantnya gadis itu terduduk di lantai.
"Aduh pantat gue," gadis itu meringis sambil memegangi pantatnya yang mencium lantai.
"Apes banget sih gue hari ini. Udah mah bangun kesiangan sekarang malah nabrak--" oceh gadis itu sambil membereskan buku-bukunya yang berserakan di lantai lalu mendongak untuk melihat siapa yang telah tega membuatnya terjatuh ke lantai yang aduhai itu.
Matanya tak bisa berkedip ketika melihat orang yang ditabraknya barusan. Ia bahkan tak sanggup untuk sekedar melanjutkan ocehannya ketika manik tajam itu bersitatap dengan kedua maniknya.
Ya Tuhan, ini malaikat pencabut hati apa manusia sih? Ganteng bangett. Batin Rere dengan wajah berbinar-binar.
Rere Wardana atau yang kerap disapa Rere. Hidung mancung, bibir tipis, berkulit putih dengan rambut bergelombang sepunggung, dan tinggi badan 154 cm. Rere ini bisa dibilang anak yang cukup mandiri, pekerja keras dan selalu ceria walaupun kenyataannya semua tak selalu seperti yang ia harapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lecturer Is My Husband (END)
RomanceStory 1📙 Jadi, mohon maaf kalau masih agak berantakan. [belum revisi] Dijodohin itu gak ada dikamus gue. Apalagi dijodohin sama dosen yang galak seperti Fano. Dih, ogah. Bisa kebayang gak tuh kehidupan gue ke depannya? Gak jauh dan gak lebih pasti...