12. Permintaan Mama Arumi

24 2 0
                                    

POV Rania

Namaku Rania Balqis. Usiaku kini menginjak dua puluh tujuh tahun, statusku belum menikah. Aku anak tunggal dari pasangan suami istri, bernama Omar Haidar dan Alina Bahri.

Aku tinggal seorang diri, dan hanya di temani seorang pembantu. Sementara kedua orang tuaku tinggal di luar kota, mereka sibuk dengan bisnisnya masing-masing.

Dari kecil, aku kekurangan kasih sayang, mereka hanya memenuhi kebutuhan materiku saja, yang jelas jika aku butuh sesuatu, tak perlu waktu lama untuk mereka mengabulkan semua keinginanku.

Karena mereka berfikir, aku anak satu-satunya yang mereka miliki. Jadi sudah sepatutnya apapun yang kuinginkan pasti mereka berikan. Tak terkecuali, katanya.

***

Aku lulus Sekolah Menengah Atas pada tahun 2005. Lalu aku melanjutkan kuliah di universitas Pakuan Bogor.

Pertama masuk, aku gugup tak memiliki teman seorang pun. Karena mungkin sikapku yang terlalu cuek.

Hingga pada akhirnya, aku di pertemukan dengan seorang pria yang tinggi, tampan, dan memiliki alis tebal, bibirnya merah, bola matanya hitam. Saat itulah ada ketertarikan dalam hati, ada rasa nyaman dan ingin memiliki. Ya, bisa di katakan aku mencintainya pada pandangan pertama, dadaku selalu berdebar setiap dekat dengannya.

Dia Rayyan Narendra Muttaqi. Lelaki pertama yang dekat dan mau berteman denganku. Usianya tergolong lebih tua dariku. Namun, entah kenapa ada rasa berbeda ketika melihatnya.

Setiap aku pergi, dia selalu setia menemani. Bahkan orang-orang mengira kami menjalin hubungan, bahkan kedua orangtuanya pun terang-terangan menyetujui hubungan kami.

Akan tetapi, Rayyan tak memiliki perasaan apapun padaku. Pernah saat itu ketika jam istirahat, kami sedang makan siang di kantin, aku memberanikan diri bertanya padanya. "Mas Rayyan, bagaiamana perasaanmu padaku?"

Dia mengernyit. "Maksudmu?"

Aku menunduk, menormalkan detak jantung yang berdetak tak karuan. Entahlah setiap kali dekat dengannya hatiku selalu seperti ini.

"Em, itu ... Orang-orang kan menganggap kita itu pacaran, bahkan Mama Arumi sangat mendukung." Aku berkata dengan hati-hati.

Rayyan mendongak, dan ia tergelak. "Haha, aku sih biasa aja. Kita kan hanya sahabat di kampus, jadi ngga akan mungkinlah aku suka sama kamu! Rania Balqis adalah adik plus sahabat untukku," jawabnya. Sembari fokus dengan makanan di meja.

Saat itu, perasaanku tentu sakit. Tak pernah mengira, hubungan yang kuanggap nyaman, selalu ada yang melindungi nyatanya orang itu hanya menganggapku sebagai sahabat saja.

"Memangnya kenapa? Kamu suka sama aku?" tanyanya spontan.

Aku melonjak kaget. "Emm ..." Tenggorokanku tercekat, bibirku bergetar.

"Kenapa? Kalo memang suka sama aku itu sih hakmu. Lagian ngga ada salahnya jika seperti itu, wajarlah. Tapi ... Maaf, aku hanya menganggapmu sahabat. Tak lebih! Karena, saat ini aku tengah dekat dengan seseorang." Rayyan melanjutkan ucapannya dengan santai, seolah tak memperdulikan hatiku yang sakit.

Sakit dan cemburu yang kurasa saat itu ketika mendengar dia dekat dengan seseorang.

'Siapa wanita yang beruntung itu, Mas?'

Waktu berjalan begitu cepat, tahun 2007 Mas Rayyan wisuda. Sementara aku masih melanjutkan kuliah dua tahun lagi. Dan saat itulah aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Selang satu tahun dari perpisahan itu, Mas Rayyan datang membawa surat undangan. Ia mengundangku ke acara pernikahannya.

Kalian tahu, apa yang kurasa waktu itu? Hatiku remuk redam, ketika melihatnya datang mengantarkan undangan. Aku yang sejak lama selalu setia menemaninya, berharap dia datang untuk menikahiku. Namun, ia datang hanya untuk mengundangku ke acara pernikahannya.

"Ya Allah, sesakit inikah mencintai dalam diam?" gumamku dalam hati.

Luka di hatiku cukup dalam dan membekas, tak mudah untuk menyembuhkannya. Untuk mengindari semua yang berkaitan dengannya, kuputus semua kontak teman-teman semasa kuliah, termasuk kontak Mas Rayyan. Karena aku tak mau mengingat momen indah bersamanya.

****

Sampai pada akhirnya, aku kembali di pertemukan lagi lewat Mama Arumi.

Mama Arumi sengaja menelponku. Ia mengundangku untuk datang ke acara pernikahan keponakannya di Sukabumi. Tak lupa Raina--adik Mas Rayyan pun memohon padaku untuk hadir di acara itu. Entah apa maksudnya. Yang jelas mereka menginginkanku datang. Alasannya sih kangen aja pengen ketemu.

Akan tetapi, perasaanku berkata ada tujuan lain yang ingin di bicarakan mereka dari pertemuan itu. Baiklah, aku akan datang.

***

Tiba waktunya di hari yang kutunggu, Aku bersiap untuk datang ke acara itu. Aku mengenakan celana Levis dan kemeja berwarna pink, lalu kerudung berwarna senada, tas bermerk dan sepatu berhak lima centi turut menyempurnakan penampilanku kali ini.

Sebelumnya aku belum pernah mengenakan pakaian tertutup seperti ini, tetapi demi membahagiakan Mama mertua. Eh! Mama Mas Rayyan maksudnya, aku rela mengenakan pakaian seperti ini.

Oh ya, semalam Mama Arumi menyuruhku memakai pakaian tertutup. Entah apa maksudnya. Aku sih menurut saja.

Aku berangkat sekitar pukul tujuh, agar sampai di lokasi lebih pagi. Bersyukur jalanan lancar, sehingga sampai di lokasi pukul sembilan pagi. Aku menuruni mobil sedan. Lalu berjalan menyusuri lokasi pernikahan, mencari keberadaan Mama Arumi. Tadi sih bilangnya sudah nyampe satu jam lalu.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Dan pandanganku berhenti di kolam kecil sebelah kiri, ada seorang wanita paruh baya yang cukup anggun nan cantik tengah berdiri melambai ke arahku.

Mama Arumi?

Kulangkahkan kaki menuju tempat itu. "Mama Arumi?" sapaku.

Mama Arumi tersenyum manis, ia memelukku erat. "Mama kangen sama kamu Rania!" ucapnya.

"Aku juga, Mah!" Kuusap punggungnya lembut.

"Ka Rania?" Raina datang dari arah samping, segera kulepas pelukan Mama Arumi. Dan berganti memeluk Raina.

"Aku kangen Kakak!" Raina pun bermanja di pelukanku.

Aku terharu melihat Mama dan Raina masih bersikap ramah padaku. Tak terasa air mataku menetes di pipi.

"Kakak apa kabar?" Raina melepas pelukan. Ia terlihat mengusap sudut matanya.

Aku tersenyum tipis. " Baik. Kamu dan Mama gimana kabarnya?" ucapku, seraya menghapus sudut mata.

"Kami baik." Mama menjawab cepat.

Mama menarik lenganku masuk ke dalam, menuju ruangan kosong yang berada di belakang. "Mama mau bicara sama kamu," ucap Mama merangkulku.

Ia duduk di atas kursi panjang yang ada di ruangan itu. "Rayyan belum punya anak!" Tiba-tiba Mama berkata dengan menahan tangis. Kemudian menarikku untuk duduk di sampingnya.

Aku diam, melebarkan mata. Maksudnya apa Mama bicara seperti itu?

"Andai, waktu itu kamu yang menikah dengan Rayyan. Mungkin, saat ini Mama sudah menggendong cucu dari anak lelaki Mama!" ucapnya lirih.

Aku mengernyit. "Ma ..." ucapku bergetar.

Mama menutup mulutku dengan telunjuknya. "Mama ingin kamu menikah dengannya!"

Bersambung!

Pejuang Dua Garis Merah - The power of Surat maryamOnde histórias criam vida. Descubra agora