New Tasks

356 62 0
                                    

Aku bergegas melewati koridor gedung apartemen Pak Arya. Pagi ini, aku diminta datang lebih awal, entah untuk apa. Dia memang ahlinya bikin deg-degan. Jangan-jangan ada complaint serius yang bakal kuterima hari ini. Mati aku!

Sebetulnya, Pak Arya tidak pernah marah-marah apalagi sampai meninggikan suara. Bicaranya juga singkat dan padat. Tapi, kata-katanya itu tajam menusuk ke hati yang paling dalam. Meskipun sudah terbiasa, tapi tetap saja butuh kesiapan mental untuk menghadapi pria perfeksionis itu. Mentalku selalu menciut kalau berada di depan Pak Arya.

Seperti yang sudah diperkirakan, bosku itu sudah menunggu di meja makan dengan setelan jas lengkap, plus wangi parfum yang semerbak, malaikat pun mabuk dibuatnya. Ketika aku muncul dia tampak melirik jam tangannya.

"Saya belum terlambat 'kan, Pak?"

"OK, masih dalam batas toleransi," jawabnya datar. "Han, ini ada tugas tambahan buat kamu." Pak Arya menyerahkan selembar brosur kursus TOEFL intensif. "Tugas kamu adalah menyelesaikan kursus ini dan mendapatkan nilai TOEFL minimal 550."

Aku cuma bisa melongo. Apa maksudnya semua ini? Apakah syarat untuk jadi ART zaman sekarang juga harus punya kemampuan Bahasa Inggris setinggi itu? Lalu, dia pikir mendapatkan nilai 550 itu hanya seperti naik level di game online?

"Ke-kenapa saya harus ikut kursus TOEFL, Pak?"

"Bukannya kamu bercita-cita ingin pergi ke Amerika dan kuliah di sana?"

"I-iya ... tapi itu dulu, Pak. Sekarang semuanya sudah terlambat dan mustahil buat saya. Sama saja seperti pungguk yang merindukan bulan! Sebaiknya kita lupakan saja tentang itu."

Pak Arya tampak menghela napas panjang lalu menggelengkan kepalanya."Kamu tahu kenapa cita-citamu itu jadi mustahil?" Dia menatapku. "Karena kamu enggak pernah berusaha mewujudkannya!"

Aku tertunduk, tidak bisa menyangkal. Aku bukannya tidak mau berusaha, tapi hanya mencoba untuk berpikir realistis. Mungkin Pak Arya tidak paham bagaimana orang-orang seperti aku yang hidup dalam kesulitan ekonomi. Pendidikan tinggi itu buat kami adalah barang mewah, kebutuhan tersier. Dapur masih bisa ngebul juga sudah alhamdulillah.

"Apa menurut Bapak saya masih pantas memperjuangkan cita-cita itu?"

"Kenapa tidak? Siapa tahu takdir bakal membawa kamu ke Amerika sana. Nah, sekarang tinggal kamu yang memantaskan diri untuk menerima takdir itu. Kalau kesempatan itu tiba-tiba datang, bagaimana? Kamu mau mau membisu saja?"

Ah, kalimat terakhir Pak Arya itu serasa angin surga yang berhembus di tengah kehidupanku yang paceklik ini. Mungkin benar juga, tidak ada ruginya belajar Bahasa Inggris. Kalaupun tidak untuk kuliah, setidaknya mungkin bisa dipakai untuk mencari kerja. "Tapi, Pak ... kursus ini biayanya mahal. Tabungan saya tidak cukup kalau harus membayar biayanya."

Pak Arya mengangsurkan amplop dengan sejumlah uang di dalamnya. "Pakai ini saja, harusnya lebih dari cukup."

Aku menerima amplop itu dengan ragu-ragu, mengintip isinya. Tampak berlembar-lembar uang rupiah berwarna merah. Apakah ini tidak berlebihan? Bibirku terkatup rapat karena tidak tahu bagaimana caranya mengucapkan terima kasih. Sekuat tenaga kutahan agar genangan di sudut mataku tidak meluncur ke pipi, tapi itu sangat sulit. Selama ini ibu selalu menasihatiku, kalau bercita-cita jangan ketinggian. Namun, lelaki di depanku ini justeru sebaliknya. Kenapa dia begitu yakin kalau aku mampu untuk mewujudkannya? Dan terlebih lagi, mengapa dia yang lebih semangat untuk mewujudkan cita-citaku?

Pak Arya menyodorkan sehelai tisu yang diambilnya dari kotak di meja makan. "Saya nggak suka melihat kamu menangis," ujarnya sambil memalingkan wajah.

Aku segera mengambil tisu dan menyeka air mata. "Maaf, sudah membuat Bapak tidak nyaman."

Pria itu berdiri lalu mengambil setumpuk textbooks dan meletakkannya di hadapanku. "Oh ya, ada satu lagi tugas tambahan. Nanti kalau kerjaan kamu sudah selesai, tolong baca buku-buku ini, lalu buat ringkasannya per bab, ya!"

"Baik, Pak." Tidak ada kalimat lain yang bisa kukatakan selain itu. Tak terbayang betapa sibuknya hari-hariku kedepannya.

"OK, saya harus berangkat sekarang. See you tomorrow!" Pak Arya berlalu, meninggalkan wangi parfumnya yang selalu menyegarkan.

Setelah Pak Arya pergi, aku pun bergegas memulai pekerjaan rumah. Tugas semakin banyak, artinya aku juga harus bisa bekerja dengan lebih cekatan. Belum lagi tugas tambahan membuat ringkasan buku. Aneh-aneh saja, jangan-jangan ini sebenarnya adalah tugas kantornya!

Seperti biasa, aku membersihkan kamar Pak Arya. Kalau diperhatikan, ada satu hal yang agak berbeda. Akhir-akhir ini kamar itu tidak serapi dulu lagi. Masih tetap rapi, sih, tapi tidak lagi seperti kamar contoh desain di majalah interior. Beberapa barang tampak berantakan dan selalu ada beberapa buku yang tertinggal di kasur. Salah satunya berjudul "Healing from Trauma". Aku tidak mengerti kenapa Pak Arya memilih buku itu. Apakah dia sedang ada masalah atau punya trauma masa lalu?

Ada yang bilang, orang yang biasanya rapi lalu tiba-tiba kamarnya berantakan, bisa jadi itu adalah pertanda ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Ah, tapi tampaknya tadi Pak Arya baik-baik saja. Mungkin dia memang sedang sibuk saja akhir-akhir ini.

Di bawah bantal kutemukan selembar foto keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki yang lucu. Tampaknya itu adalah foto Pak Arya ketika masih kecil. Bakat ketampanannya sudah terlihat sejak dulu rupanya. Bedanya, Pak Arya kecil tampak lebih ceria. Tidak seperti sekarang ini, senyumnya adalah barang mahal yang tidak semua orang beruntung melihatnya.***

My Sweet AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang