Happy Birthday

349 62 7
                                    


Pak Hendra mengundangku ke acara barbecue di rumahnya. "Biar ada yang membantu Bu Shinta menyiapkan daging dan sate," katanya. Berhubung hari minggu aku libur kerja, kuamini saja permintaan Pak Hendra itu. Hitung-hitung refreshing setelah sepekan bekerja, belajar TOEFL, dan berjibaku dengan tugas ringkasan textbook dari Pak Arya.

Rumah Pak Hendra memiliki halaman belakang yang luas. Tempatnya sangat nyaman untuk mengadakan acara barbecue keluarga. Ruang terbuka tetapi privasi tetap terjaga. Pasti kelak anak-anak akan senang berlarian di taman belakang rumah ini.

Aku dan Bu Shinta mendapat tugas untuk memotong daging dan membumbui sate ayam. Sedangkan pak Hendra tampak sibuk menyalakan bara dalam alat pemanggang.

"Berapa orang tamu yang akan datang, Bu?" tanyaku pada Bu Shinta yang sedang meracik salad.

"Paling satu orang lagi yang belum datang."

"Oh, saya kira bakal banyak yang datang."

"Nggak, ini cuma acara kita-kita aja, kok," jawab Bu Shinta sambil tersenyum. Istri Pak Hendra ini benar-benar cantik. Dengan dandanan sederhana pun dia tidak kalah dengan bintang iklan di TV. Kalau kami berdiri bersebelahan begini, seperti langit dan bumi bedanya.

"Nah, itu dia, tamunya sudah datang," ujar Bu Shinta menunjuk seorang laki-laki yang baru saja memasuki halaman belakang.

Pak Arya? Aduh ... alamat acara barbecue ini bakal nggak seru deh. Bisa-bisa aku dapat komplain terus sampai semuanya rapi seperti semula.

"Lho, kok Hani bisa ada di sini?" tanya Pak Arya yang melihatku sedang meronce daging di tusuk sate.

"Gue yang ngundang lah," jawab Pak Hendra sambil mengipas-ngipas bara.

"Kok ... lo nggak bilang-bilang?"

"Memangnya lo siapanya Hani? Sampai gue harus minta izin buat ngundang ke rumah sendiri, di hari liburnya pula." jawab Pak Hendra sambil tertawa. Pak Arya cuma diam dan memasang wajah datar.

Tanpa sadar aku sering menikmati juga "pertengkaran" ala Pak Hendra dan Pak Arya. Tampaknya mereka itu teman dekat yang hubungannya benci-benci tapi rindu. Kalau ketemu selalu bertengkar tapi juga saling mengandalkan.

"Mas Arya, minta tolong bantu Hani menyiapkan sate, ya! Aku mau bikin es buah dulu di dalam," pinta Bu Shinta.

Pak Arya mengangguk, lalu pindah berdiri di depanku. Tanpa bicara dia mulai menusuk potongan daging ayam dengan tusuk sate. Tampaknya Pak Arya memang selalu ingin semuanya perfect. Potongan daging ayam pun ditatanya dengan sangat rapi. Bahkan, dia juga mengusahakan agar ukurannya seragam. Namun, efek sampingnya adalah kerja Pak Arya menjadi lama.

Beberapa menit pertama kami-sama diam. Ah ... aku tidak suka suasana seperti ini. Namun, aku juga tidak berminat untuk membuka pembicaraan duluan.

"Mint tea yang waktu itu ... makasih ya." Pak Arya mulai berbicara.

Aku hanya mengangguk. Takut salah bicara yang pada akhirnya dikira oleh Pak Arya salah paham lagi.

"Habis minum teh itu ... saya merasa baikan."

Woah ... kemajuan. Pak Arya memujiku. Tapi aku tidak boleh terlalu senang dulu. Biasanya kalimat manis Pak Arya berujung plot twist. Satu hal yang aku syukuri adalah tehnya tidak terbuang percuma.

Siang itu anginnya agak kencang. Embusannya membuat kerudungku berantakan dan terasa tidak nyaman. Aku terpaksa merapikan lipatan kerudung dengan punggung telapak tangan yang berlumuran bumbu sate.

My Sweet AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang