012

315 38 2
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Pria renta itu tersenyum ketika melihat pria dengan balutan sarung dan kopiah yang bertengger di kepala sedang berbincang dengan pemuda lain.

Ternyata, tak sesulit itu ketika harus mengajarkan Fiki. Pria itu mudah paham dengan apa-apa yang dipelajarinya di pondok. Bahkan, Fiki juga dapat mengejar ketertinggalannya.

Baru hampir dua minggu ia berada di pondok, bacaan Al-Qur'an pria itu sudah jauh lebih baik. Fiki sudah dapat membaca Al-Qur'an dengan tartil, tajwid, dan makhrajnya pun sudah dapat diucapkan dengan jelas dan benar.

Abah merasa bangga pada muridnya yang satu itu. Ia kira, Fiki tidak akan betah tinggal di pondoknya dalam waktu yang cukup lama. Namun, ternyata perkiraannya salah besar.

Sudah dapat abah tebak juga kalau niat pria itu sudah pria itu luruskan. Abah sangat tahu seberapa besar usaha pria itu untuk meluruskan niatnya dan menyandarkan niatnya hanya kepada Allah.

Fiki sampai menitipkan ponselnya pada abah, dan pria itu akan mengambilnya selama seminggu dalam sekali. Abah tahu, apa yang Fiki lakukan itu hanya semata untuk meluruskan niatnya.

Saking tak mau imannya goyah dan niat yang sudah ia bangun kembali berantakan, selain ia memblokir semua akun milik wanita yang ia sukai, Fiki pun memilih untuk menjauh dari ponselnya. Tenang saja, ia sudah izin pada Bihan, dan tentu saja Bihan memberi izin dengan senang hati.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Abah menoleh ke sampingnya, melihat kalau ada Adam di sana membuat bibirnya menyunggingkan senyum pada laki-laki itu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Remaja itu terlihat celangak-celinguk, ia seperti sedang mencari sesuatu di depan sana. "Abah lagi lihat apa, sih? Kok dari tadi Adam lihat, Abah senyum-senyum sendiri."

Abah tersenyum, ia menunjuk objek yang ia lihat dengan dagunya. Adam sendiri sudah menyipitkan mata untuk melihat apa yang abah maksud.

Setelah paham, Adam mengangguk-anggukkan kepala. "Oh, Kak Fiki?"

Abah berdehem, ia menautkan tangannya di belakang tubuhnya. "Menurutmu, bagaimana perkembangan anak itu?"

Tampak berpikir, Adam semakin memfokuskan tatapannya pada Fiki. Pria dengan balutan sarung dan kopiah yang bertengger di kepalanya itu sedang menyapu lapangan dengan santri lain, mengingat kalau ini adalah hari Minggu. Hari Minggu adalah hari di mana Pondok Belajar Tahsin dan Tahfiz milik abah selalu mengadakan kerja bakti.

"Dia Maa Syaa Allah banget, Bah. Adam salut sama ketekunan Kak Fiki, apalagi kalau melihat kemampuan dia dalam menghafal dan mengingat. Adam jadi minder."

Senyum abah terbit, ia bangga pada pria itu. Bahkan, bukan hanya dirinya, tapi santri-santri di sini pun ikut bangga dan salut atas pencapaian Fiki sebagai santri baru di umurnya yang sudah matang.

"Adam!"

Laki-laki bersarung kotak-kotak hitam itu menoleh menatap orang yang baru saja memanggilnya. Matanya memicing untuk melihat Akbar yang sedang melambai-lambaikan tangannya.

"Adam, tolong ke sini!" teriak laki-laki di ujung sana. Peluh yang membanjiri dahinya tak membuat dirinya mengeluh.

Adam mengacungkan jempolnya pertanda siap, ia menatap abah lebih dulu untuk berpamitan. "Adam ke sana dulu, ya, Bah. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Dengan seulas senyum abah mengangguk. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Setelahnya, Adam berlari kecil untuk menemui Akbar yang tadi memanggilnya.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang