026

362 47 4
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Untuk sementara, kita tinggal di apartemen ini dulu, ya?"

Zahra melihat sekitarnya, ia mengangguk. "Tinggal di sini selamanya juga nggak papa."

"Nggak bisa."

"Kenapa? Mau digusur?"

Fiki tertawa renyah. "Apartemen ini terlalu kecil untuk ditinggali berlima."

"Berlima?"

"Iya. Kita berdua, sama tiga anak kita nanti."

Zahra mendengkus, walau tak bisa ditampik kalau dirinya ikut salah tingkah. Membahas perkara anak yang nanti akan ia lahirkan, Zahra belum terpikirkan sampai ke sana.

"Kamu nggak memikirkan tentang honeymoon?"

Fiki tak kuasa menahan senyumnya, seharusnya itu adalah pertanyaan yang ia lontarkan, bukan wanitanya. "Enggak."

"Loh, kenapa?" tanya Zahra heran. Lebih tepatnya, ia sangat heran.

"Kamu udah nggak sabar, ya?"

"Apa, sih, nanya aja! Lagian, pasti Umi nanti akan tanya hal ini juga ke aku!"

"Aku siap kapan aja, Sayang. Sekarang itu bukan aku yang harus kamu tanyakan, tapi diri dan perasaan kamu sendiri."

"Kok jadi aku?"

Fiki tersenyum, tatapannya langsung mengunci manik legam milik istrinya. Tangannya bergerak untuk menyelimuti tangan yang sudah lama ingin ia genggam. "Bukannya sulit menikah dengan orang yang tidak kamu cintai?"

Refleks, Zahra mengepalkan tangannya yang diselimuti tangan kekar milik Fiki. Kenapa harus sekarang pria itu membicarakan hal ini.

"Setelah aku memutuskan untuk menikah sama kamu, bukankah itu menjadi penjelasan bagaimana perasaanku padamu?"

"Tapi kamu belum mencintaiku, Zahra. Aku belum merasakan itu."

"Aku–"

Senyuman penuh arti Fiki tunjukkan, ia menarik tangannya kembali pada posisi semula. Walaupun raut kecewa tak bisa ditutup oleh senyuman itu. "Jangan terlalu dipikirkan. Ah, iya, mau makan apa malam ini? Kita beli di luar aja, ya? Aku lupa belum belanja bahan makanan."

°°°°

Fiki mengembuskan napasnya kasar. Omongannya semalam yang tidak difilter menumbuhkan penyesalan dalam hatinya. Ia merasa menjadi manusia paling bodoh sekarang. Bagaimana bisa sekarang ia sudah menuntut Zahra agar membalas perasaannya.

"Apa seharusnya waktu itu nggak jadi nikah aja, ya? Seenggaknya gue harus pastikan dulu perasaan dia."

Menggeleng kuat adalah apa yang Fiki lakukan. Ia tidak boleh membiarkan bisikan setan itu menguasai dirinya. Ia tidak boleh menyesali keputusan yang ia ambil. Lagi pula, belum ada satu bulan mereka menikah.

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum. Selamat pagi, Pak Fiki."

Fiki menatap wanita dengan rambut sebahu, terlihat ada beberapa map berisi dokumen-dokumen yang ia bawa. "Wa'alaikumussalam. Ada apa, Ta?"

"Ada beberapa dokumen yang harus Bapak tanda tangani."

"Letakkan di sini saja, akan saya tanda tangani nanti."

DESTINY [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon