Kesempatan

14 2 10
                                    

Seorang pemuda menanggapi Algasta. Rupanya ada yang bisa mendengar suara kecil pemuda itu. Kini, ia mendekat ke arah Algasta.

"Eh ... hai ... anu, Viu." Algasta menyapa lagi. Ia tersenyum, mencoba terlihat ramah seperti biasa.

Algasta mengingat mereka. Silviu dari kelompok kapten Cadassi, Zeya dari kelompok kapten Roux, Olita dari kelompok Ayesh, dan Bullet adalah anak yang waktu itu sempat membuat heboh.

Olita mengacungkan senjatanya. Algasta sedikit terkejut melihat yang dilakukan gadis itu tiba-tiba.

"Aku tidak suka melakukan ini. Maka jujurlah padaku, siapa yang mengirim surat konyol itu?" Belati itu kini mengarah ke pemuda itu.

"Bu ... bukan aku," lirih Algasta.

"Lebih baik aku belajar memasak," ucap Silviu ketika belati mengarah padanya.

"Tenanglah, Olita." Zeya, anggota dari kapten Roux mencoba mendinginkan suasana.

Tiba-tiba Olita terdiam sebentar, lalu menghela napas dengan kasar. "Baiklah. Tapi apa kau tidak bisa mencari tahu hal itu untukku?"

Algasta memandang tak mengerti. Apa maksudnya? Sepertinya ia tidak sedang berbicara dengan empat orang lain yang ada di tempat itu.

"Lebih baik perkenalkan diri kalian. Aku Bullet."

"Silviu," Pemuda di samping Algasta memperkenalkan diri.

"Algasta."

"Olita."

"A-ayo kita diskusikan ...." Algasta mencoba mengajak berunding. Lagi-lagi dengan tingkat kepercayaan diri yang rendah. Entahlah, tapi rasanya ia tidak senyaman saat bersama Lush dan yang lain.

"Katakan saja, Alga. Jangan ragu," ucap Silviu.

Algasta menghela napas panjang untuk menguatkan diri. "Ayo ... kita diskusikan ... emm maksudku ... kita pikirkan siapa yang mengirim surat itu?"

"Tidakkah kita duduk dulu?" usul Bullet.

Algasta menurut, diikuti yang lain duduk saling berhadapan di rerumputan.

"Izinkan aku bicara." Zeya membuka percakapan. "Aku tahu, kita semua tiba di sini karena surat itu. Tapi, alasan kenapa tiba di sini yang perlu ditanyakan. Kurasa pengirimnya juga bukan salah satu dari kita."

"Kupikir pengirimnya monster kemarin," celetuk Bullet. "Dia dendam pada kita. Kemarin kita membunuhnya juga
di sini, bukan?"

"Jangan bercanda," sahut Silviu. "Kau pikir monster mati bisa mengirim surat?"

"Bisa, saja," jawab Bullet "Mau dengar konspirasiku?"

"Alga, kau ada usul?" Olita melempar pertanyaan pada pemuda itu.

"Eh?" Algasta bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu. "Emm ... tidak ada."

"Bukannya lebih baik dipikirkan sendiri-sendiri?" usul Zeya.

"Ide bagus." Bullet menjentikkan
jarinya. "Terkadang aku perlu bermeditasi buat berpikir lurus."

"Jadi, selama ini pikiranmu bengkok?" sahut Silviu.

"Yah, apa boleh buat." Olita menginterupsi. Gadis itu merebahkan diri di rerumputan. "Mari berpikir sendiri. Aku pun lelah."

Semua mulai berdiam diri di tempat masing-masing. Algasta juga mulai berpikir. Apa pengirim suratnya salah satu kapten? Ada banyak kemungkinan. Apa seseorang yang tidak mereka kenal? Satu-satunya persamaan antara mereka berlima yang ia tahu adalah, pernah berada di hutan ini. Tapi, pasti ada alasan ....

"Kenapa kalian diam saja?
Seharusnya kita membuat tenda!" Tiba-tiba Olita berseru dengan nada kesal. Memang mereka semua diam lumayan lama.

"T-tapi kau yang menyuruh kami untuk ...."

"Aku bukan pemimpin kalian!" seru Olita memotong perkataan Algasta.
Pemuda itu terkejut untuk ke sekian kalinya. Ia tidak mengerti. Sepertinya suasana hati gadis itu buruk sejak tadi. Algasta rasa, mungkin lebih baik diam untuk sementara waktu.

"Sebaiknya kita segera membuat api unggun dan memasak makan malam." Suara Olita melunak.

"Aku akan berburu." Silviu bangkit. "Bullet, kau ikut denganku.
"Siap, Bang!" sahut Bullet sigap.

"Aku akan mencari kayu bakar saja."
Zeya beranjak dari tempatnya.

Apa yang bisa Algasta lakukan? Mendirikan tenda atau sejenisnya?
Apa tidak apa-apa jika ia hanya berdiam diri di sini? Pikiran Algasta segera beralih ketika Olita yang kini duduk di sampingnya di kerubungi kupu-kupu yang bercahaya.

"Tanganmu, kenapa?"

Algasta terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu. "Ber--tarung."

Olita membuat api unggun sederhana dengan mengumpulkan ranting-ranting kecil dari sekitarnya, tampaknya ia harus membuat api secara manual. "Maaf, aku tidak punya sihir api."

Algasta mengangguk.

Tak lama, Zeya datang membawa kayu yang diperlukan, dan mereka membuat api unggun yang lebih besar sehingga hawa sekitar lebih terang dan hangat. Saat itulah Silviu dan Bullet datang.

"Aku bawa burung endemik!" Bullet berseru.

"Kau bercanda? Itu burung beracun!" seru Olita.

Bullet tersenyum cerah. "Bagi kalian beracun, tapi tidak denganku ... selamat memanggang!"

Beruntung selain burung beracun itu Bullet dan Silviu juga membawa kelinci. Akhirnya, mereka mulai mengolah daging buruan itu untuk makan malam.

678 kata
wga_academy
Nichole_A

ALGASTA HIER 𓊈✔𓊉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang