42. Redupnya Oniks Permata

187 52 28
                                    

Aku saranin, play lagu yang
paling sedih menurut kalian.

Aku saranin, play lagu yangpaling sedih menurut kalian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Dika--"

"Arum."

Kedua jemala tertoleh bersamaan dengan lafal pengucapan yang terlampir dari bibir mereka. Setelahnya, keadaan yang semulanya canggung, kian merikuh dengan adanya kontak mata yang saling bertaut. Arum lekas membuang kanvas rupanya ke sisi daksina dan membiarkan Handika yang mengambil alih bagian.

"Lo duluan aja," putus sang nona.

Mengembuskan napas pelan nan terasa berat, Handika menatap pelataran tawang sejenak. Netranya bergerak menghadap langit-langit Praja Batavia dengan keelokan bertabur gala gemintang. Pemilik surai kelam dengan wajah sendu itu pun dengan lantas mengangkat suara dalam heningnya ujana di komplek milik nona Diajeng itu.

"Rum, lo... tadi kenapa nangis pas di telepon?" tanyanya seketika, sangkala menyadari seri muka Arum yang tak begitu senang pada malam hari ini. Bahkan sepotong rembulan pun lenggana menyirami mereka berdua dengan bias sinarnya.

Berlokasi di yojana, mereka berdua terduduk pada salah satu bangku panjang sebagai tempat persinggahan sementara. Terlukiskan rasa kapuranta yang diibaratkan sebuah api cinta yang menggelora di bilik kalbu keduanya, dengan campah-cahang. Sama-sama enggan untuk berkata jujur di saat-saat seperti ini.

Meneguk ludahnya susah payah, ia menggigit bibir empuknya kuat-kuat demi menahan isakan yang akan mengutarakan isi hatinya. Jemari lentik berkulit langsat itu pun sudah meremat rok panjang yang melekat pada tubuhnya. Berusaha sekuat mungkin untuk tidak bergetar menahan rasa yang telah menggebu-gebu pada tuan muda di samping kirinya.

Masih dalam keadaan menunduk kecil, ia pun membalas pertanyaan yang membumbung sani. "Ng-nggak. Gue nggak pa-pa," dustanya halus.

Hastanya terlipat satu sama lain di depan dadanya, seraya mendengus kecil setelah mendecak pelan. "Lo nggak pandai bersandiwara, Rum. Lo bohong," sanggah Handika cepat. Maniknya melirik Arum yang sama sekali enggan menatap netra kelamnya.

Menoleh secepat kilat. Alisnya mengerut hampir menyatu satu sama lain. "Lo sendiri... kenapa tiba-tiba banget ke Jakarta?" ia menembak pertanyaan diputarbalikkan pada adam gagah tersebut.

"Kalau gue sih... punya firasat yang kuat buat ke sini. Gue balik ke Jakarta, karena alarm rindu lo itu lagi bunyi. Yang berarti... lo tuh lagi kangen banget sama gue," jenakanya sambil terkekeh menjahili gadis senja yang satu itu. "Iya 'kan?"

Arum secepat kilat melototkan mata. Bibirnya mengerucut dengan tatapan elang yang diberikan untuk Handika seorang. Rupanya, kejahilan pemuda Cakrabuana itu memang sudah melekat pada dirinya.

"Ih, nggak, ya! Aya-aya wae! Mana ada alarm gituan? Ngaco ah!" ia membalas dengan membuang muka lagi. Pipinya muncul semu kemerahan tercetak jelas walau keadaan sedang aram temaram.

[✔️] ii. Sebait Klausa | SunghoonWhere stories live. Discover now