Kota Mati

611 96 25
                                    

Yogyakarta, 2016

Pekat malam menyelimuti langit Yogyakarta. Masih jelas tercium aroma bekas hujan sore tadi. Kabut tipis menjadi penghias bumi, akibat udara dingin yang mengepung kota Istimewa ini.

Suara bola yang beradu hingga membuat salah satu bola masuk ke dalam pojok lubang di papan itu membentuk senyum tipis di bibir pria bersarung tangan hitam, ia melirik ke arah pria yang menjadi lawannya, pria itu tampak frustasi.

"Gimana?" Andis menyodorkan beberapa koin di atas meja bar pada seorang wanita yang duduk di sebelahnya. "Masih mau lanjut, manis?"

Wanita itu tersenyum menatap Tama yang sedang fokus membidik bola delapan, alias bola terakhir dalam permainan biliyar. Ketika Tama melepaskan sodokan terakhir, hal itu juga menjadi akhir dari permainan tersebut.

"Nope," jawab wanita itu pada Andis. "Temen kamu terlalu jago."

Andis mengambil koin-koinnya kembali, ditambah koin taruhan milik wanita tersebut. "Oke deh kalo gitu." Andis beranjak, ia mengenakan jaketnya. "Jangan dendam, ya, manis. Selamat malam." Ia berjalan ke arah penukaran hadiah untuk menukar koin-koin yang ia peroleh dengan sejumlah uang. Ya, Andis dan Tama sedang berada di sebuah kasino. Setelah menukar uang, mereka berdua berjalan menuju parkiran.

"Kenapa?" tanya Tama yang melihat Andis sering menoleh ke arah belakang.

"Ah--enggak apa-apa." Andis mempercepat langkah menuju motornya. Mereka segera pergi dari tempat itu, dan pulang menuju Mantra.

***

Gemerincing lonceng di pintu berbunyi, Andis dan Tama masuk ke dalam rumah mereka. "Nih, jatah lu." Andis memberikan sejumlah uang pada Tama, tetapi Tama menolak. Ia pergi ke kasino hanya untuk bermain. Tama suka bermain, dan menganggap kasino hanyalah wahana permainan sama halnya seperti time zone.

"Sejak kapan lu jadi mandor judi, Dis?" tanya Dirga yang sedang duduk di belakang meja kasir.

"Hahahaha enggak, itu tadi gua cuma iseng aja. Niat cuma mau kenalan sama cewek, eh malah diajak ke tempat judi. Dia pikir bisa melorotin gua, tapi untungnya gua bawa Tama."

"Akhirnya dipelorotin balik tuh cewek sama si Tama?" tanya Dirga.

"Dalam permainan, cuma Uchul yang bisa sejajar sama Tama."

"Pemain paling bersih dan pemain paling kotor," balas Dirga sambil terkekeh.

Setelah perbincangan itu, Andis langsung naik ke kamar karena lelah. Ia berbaring dan mendapati sesuatu yang aneh di pojok ruangan. Memang, Andis merasakan sesuatu mengikutinya sedari keluar dari kasino. Andis mengambil ponselnya dan dengan segera melakukan video call ke nomor Uchul.

Di sisi lain, Uchul hendak memejamkan matanya, tetapi semua itu tidak terjadi, karena suara ponselnya yang mengganggu dengan ringtone tawanya sendiri.

"Ya elah, siapa sih malem-malem?" Uchul menatap layar ponselnya. "Ini orang—ngapain sih video call cowok malem-malem? Homo apa, ya?" Uchul menerima panggilan video tersebut dengan wajah datar. "Apa?"

"Chul! Liat muka gua!"

"Menjijikan seperti biasanya."

"Bukan! Aura gua gimana?!"

"Aura?" Uchul memicingkan matanya.

Setiap orang memiliki auranya yang berbeda. Aura merupakan pancaran energi yang keluar dari tubuh manusia. Aura tersebut nantinya akan mencerminkan suasana atau kondisi hati seseorang. Jika senang, aura yang terpancar cenderung cerah, sementara jika sedih cenderung lebih kelam. Lantas, bagaimana dengan aura orang yang mendekati ajalnya?

Mantra : Hasrat Sang PenyihirWhere stories live. Discover now