5. Next Side

198 51 5
                                    

"Aku harus pergi sebentar, Mbak. Sebelum acara mulai nanti, aku bakal balik." Bola mata Zaa membulat lucu, meskipun itu sama sekali tak cocok untuk karakter wajahnya yang memang sangar.

Rita sendiri mengerutkan dahi, heran akan apa yang akan dilakukan Zaa di luar pesantren. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.

Benar, tepat setelah kegiatan selesai pukul empat tadi, Zaa langsung melipir, mencari keberadaan Rita yang merupakan penanggung jawab seluruh tutor yang terlibat. Ia bahkan sampai menghindari sapaan Hikam yang tertuju padanya.

"Kamu bener bakal balik sebelum acara mulai? Kalau sampai nggak, aku yang bisa ditegur sama Bu Ansa waktu laporan nanti. Lagi pula, jatah kita keluar pesantren cuma pas weekend, Zaa." Ditengokkannya kepala ke kanan dan kiri, takut jika ada tutor lain yang mendengar pembicaraan keduanya. Bisa-bisa, akan ada kecemburuan jika Rita benar-benar mengizinkan Zaa.

Tanpa ragu, jari kelingking Zaa terangkat. "Promise."

Mau tak mau, Rita pada akhirnya mengangguk. Bukan masalah ia siap menanggung akibat yang akan ditimbulkan Zaa, tetapi ia pikir, tak akan ada masalah jika gadis itu kembali tepat waktu. Terlebih, Zaa adalah kesayangan bos mereka, Bu Ansa.

Binar di mata Zaa jelas terpancar, semringah sudah wajah yang semula keruh itu. Ia benar-benar ingin menikmati udara bebas di luar pesantren. Bukan itu saja sebenarnya, ada yang memang harus ia lakukan.

Setelah mengambil ransel berukuran medium di kamar, Zaa segera keluar, sedikit mengendap takut ada santri atau santriwati yang melihat. Pasalnya, ia sudah mengganti rok span yang semula dipakai dengan celana jeans. Sweater yang semula melekat pun sudah berganti menjadi kaos kedodoran dilapisi jaket kulit hitamnya, benar-benar kembali pada gaya Zaa sebelumnya.

Sampai di perempatan tak jauh dari pesantren, ia menanggalkan jilbab hitamnya lantas memasukkannya ke dalam ransel. Terurai sudah rambut sebahu itu. "Ah ... finally."

Zaa sempat mengutak-atik ponsel sebelum pergi menggunakan jasa ojek yang mangkal beberapa meter dari sana. Sayang, kepergiannya dari pesantren dilihat seseorang.

"Zaa? Ke mana dia menjelang magrib seperti ini?"

-o0o-

Riuh mengoyak gendang telinga siapa saja yang ada di sana. Namun, tak ada satu pun yang berniat protes atau merasa terganggu, mereka menikmatinya. Baru lima belas menit yang lalu iqamah Magrib berhenti, mereka sudah bak tumpah di kafe bernuansa angkringan itu.

Sebagian menikmati minuman masing-masing, tetapi yang lain sibuk bermain uno stacko dengan teman semeja. Bagaimana tak heboh? Hukuman bagi yang kalah bermain cukup melatih mental, berkenalan dengan orang random, meminta foto, bahkan meminta nomor ponsel. Orang pemalu? Jangan harap berani ikut andil.

Zaa sendiri sibuk mengisap dan mengembuskan asap rokok dari sela bibirnya. Bukan rokok tembakau itu, ia lebih prefer menggunakan rokok elektrik dengan rasa kopi. Di sekelilingnya tiga lelaki berkumpul sambil memainkan uno kartu. Persetan dengan pandangan orang-orang, sekali lagi, Zaa tak peduli.

"Kabur dari ponpes, Zaa?" tanya Kaisar tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari kartu di tangan. "Kok bisa?"

Zaa meletakkan vape dan beralih meraih secangkir cokelat panas miliknya. Sebelum menyesap cairan manis pahit itu, ia berujar, "Izin, pakai alasan tentu. Kalau nggak gitu, nggak bakal boleh. Apa lagi ntar masih ada kegiatan."

Kaisar sontak menoleh, memfokuskan pandangan pada gadis itu. Tak berbeda pula pada dua pemuda yang tersisa. Mereka sama-sama melemparkan tatapan tanya.

Ujung Tirani (Completed)Where stories live. Discover now