14 | suspicion

61 11 32
                                    

5 tahun yang lalu.

Pintu salah satu lift sebuah hotel ternama di Jakarta Pusat berdenting. Azora dengan setelan rok dan jas berbahan flanel pengeluaran brand Channel itu masuk disusul oleh tiga kacung sejatinya—Nala, Jaem dan Haje—dari belakang.

"Ra, jelas-jelas ini gak menguntungkan."

Haje tiba-tiba berceletuk setelah menekan tombol lantai 15.

Azora tersenyum miring dengan tatapan yang hanya lurus ke depan. "Gak menguntungkan bagaimana?" tanya wanita itu, tanpa repot-repot harus menatap balik ke si pembicara.

"Mereka gak terlalu menjanjikan. Lo tau itu, kan?" balas Haje. Di antara ketiga kaki tangannya, bisa dibilang cowok itu yang memiliki pemikiran lebih panjang ketimbang dua yang lain.

"Setau gue, orang-orang jaman sekarang lagi banyak yang kena demam Korea. Apa tuh, namanya? K-Pop? Hmm ... maybe, I don't know." Wanita itu mengangkat bahunya tak acuh.

"Ya, tapi gue—"

Tiba-tiba Nala berdeham, memotong kalimat Haje. "Sori motong, tapi yang gue denger dia gak cuma ngundang lo doang."

Kali ini Azora mulai tertarik. Wanita itu menoleh ke arah kanannya, posisi di mana Nala berdiri. "Siapa aja?"

"Hampir semua personel diundang, termasuk mantan lo."

Azora langsung berdecak. "Kampret!"

"Well, just in case, takutnya lo mencak-mencak, atau parahnya, malah chaos di tempat."

"Gue bukan wanita murahan. Level gue buat ngajak ribut bukan lagi main fisik, tapi main peran!" gerutu Azora. "Mending lo diem! Mood gue dari semalem udah gak bagus!"

Nala mengerucutkan bibirnya. Sedangkan Jaem yang sedari tadi diam memperhatikan, hanya terkekeh.

Sebenarnya, Azora rada bingung kala mendapatkan undangan makan malam dari salah satu keluarga konglomerat yang mengatasnamakan Byun Jae Wook. Salah satu kolega bisnis mendiang ayahnya, yang sayang sekali Azora tidak sempat mengenalnya.

Tapi karena atas dasar formalitas, wanita itu akhirnya datang ke acara makan malam tersebut. Kalau dipikir-pikir juga, sepertinya Korea Selatan bisa menjadi target pasar yang menguntungkan baginya. Minimal dia memiliki kenalan dan back-up dari pihak di sana.

Hingga kemudian acara inti pun dimulai.

Azora sempat terkejut kala mendapati 4 perwakilan The Panca yang telah duduk manis di meja makan panjang ala fine dining restoran mewah. Seketika dia menyesal telah meremehkan perkataan Nala barusan—sekedar info ketiga kaki tangannya tidak diperbolehkan masuk dan hanya bisa stand by di luar.

Fokus Azora langsung terjatuh pada pria yang menatapnya intens dengan senyum miring penuh misterius itu.

Purbalingga Dwi Arnawama.

Bagaikan respon alami, Azora membalasnya dengan tersenyum singkat, kemudian mengambil duduk di samping Nasugraha dan berhadap-hadapan dengan Lingga.

"Senang bisa bertemu denganmu," bisik Lingga. Tapi tidak Azora gubris yang memilih untuk fokus kala tuan dan nyonya Byun berdiri dan menyapa mereka.

Awalnya, semua berjalan normal. Bahkan menu untuk fine dining kali ini cukup menarik perhatian Azora, hingga membuat wanita itu tidak terlalu paham apa yang tengah dibicarakan oleh Tuan Byun. Sampai pada akhirnya sebuah statement yang dikeluarkan begitu saja oleh pria berusia 40 tahunan itu sukses membuat Azora tersedak.

"Apa maksud kalian?!"

Ternyata yang lebih dulu berbicara adalah Lingga. Azora langsung menoleh, mendapati raut tak suka dari wajahnya.

White ZoneWhere stories live. Discover now