23 | uncovered

26 7 0
                                    

Menurutnya, apapun mengenai Anggita adalah sempurna. Entah, Nala yang bodoh atau memang sudah dibutakan, tapi baginya, Anggita itu adalah perempuan favoritnya setelah Mama, tentunya.

Cewek itu punya sejuta ekspresi di wajahnya. Yang masing-masing di antaranya memiliki daya tarik tersendiri bagi Nala. Lagi-lagi Nala terkesan seperti cowok tolol yang sedang jatuh cinta. Nyatanya, bukan hanya dirinya sendiri yang menjadi korban. Hansa terduga sebagai korban juga.

Kedua cowok itu sama-sama memilih untuk bungkam akan perasaan mereka. Mementingkan untuk mendahulukan kenyamanan bersama, dan memang lebih baik seperti itu. Sebab pada kenyataannya, nasib mereka memang tidak akan pernah bisa bersama. Anggita lebih dulu pergi, meninggalkan perasaan-perasaan yang hanya bisa bertepuk sebelah tangan. Hubungan mereka seakan-akan retak oleh rasa bersalah dan memilih untuk mengubur kenangan itu sedalam mungkin di diri mereka masing-masing.

Di saat Nala berhasil membuka mata dari pingsannya akibat pukulan telak di belakang leher serta tusukan di perutnya, matanya langsung tertuju kepada Asoka yang terlelap dengan posisi terlentang dan tangannya terikat ke belakang.

Nala mengerang kesakitan. Luka tusuk di perutnya terasa sangat perih. Lehernya juga terasa ngilu untuk digerakkan. Tapi ini bukan saatnya untuk mengeluh kesakitan. Lantas cowok itu memanggilnya dengan suara parau.

"So—Soka ..."

Cewek itu masih bergeming. Nala berusaha menyeret tubuhnya perlahan untuk mendekat. Tangannya juga sama-sama diikat.

"Soka ..." panggilnya masih dengan respon yang sama. "Soka, wake up please ..."

Beruntung, Asoka terlihat mengerutkan keningnya. Perlahan dia membuka matanya dan menatap cowok itu. Spontan dia terkejut, terlebih saat melihat ada noda darah di bajunya yang berwarna abu terang.

"Nala?!"

"Sshh! Easy, Babe. Tarik napas dulu."

Mau bagaimana bisa tarik napas, saat mendadak terbagun dari pingsannya—akibat dibius oleh beberapa orang asing—langsung mendapati penampakan orang sekarat yang berdarah-darah.

"Kamu—" Ucapan Asoka terputus kala merasakan tangannya terikat mati oleh sejenis tali tambang.

"Balik badan! Ambil pisau di saku celana gue. Gece!"

"... Hah?"

Nala berdecak. "Mot, ini bukan saatnya buat ha-he-ho-ha-he-ho-an! Buru!" Beri tepuk tangan kepada Nala karena berhasil menahan sakit luar biasa di perutnya dan bersikap seolah-olah dia baik-baik saja.

Asoka awalnya ragu, tapi akhirnya dia menggulingkan tubuhnya menjadi memunggungi Nala. Tangannya yang terikat di belakang, meraba saku celana cowok itu dan mengambil sepucuk pisau lipat di dalamnya. Nala memaksakan badannya untuk bangkit, melakukan peregangan sejenak di lehernya kemudian berbalik. Mengambil alih pisau tersebut.

10 detik kemudian, tali yang melilit tangan cewek itu terlepas. Dilanjut dengan Asoka yang membantu memotong tali yang mengikat tangan Nala. Mereka pun perlahan berdiri. Sekejap, Nala mengerang, refleks memegang perutnya yang tertusuk. Darah masih terus merembes. Asoka secara mendadak, menepis tangan Nala dan menyingkap kausnya. Terpampang luka tusuk yang cukup lebar di perut bagian kirinya.

"Kamu ketusuk!"

Nala balik menepis tangan cewek itu. "Anak paud aja tau kalo ini bekas tusukan!"

"Tapi, kan—"

"Just shut up, Mot!" bantah Nala. Cowok itu memilih untuk menarik tangan Asoka dan keluar dari ruangan gelap tersebut. Di tengah perjalanan pun Asoka tidak banyak berbicara lagi. Dia tersadar jika situasinya sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk adu argumen dengan cowok itu.

White ZoneDonde viven las historias. Descúbrelo ahora