11. Kecurigaan

69 10 2
                                    

Mari mengulang sedikit tentang situasi di mana semuanya hampir terkikis habis. Saat di mana semua telah menjadi kelabu sebelum akhirnya butir berlalu.

Pijar lampu di ruangan itu menandakan kalau sebentar lagi akan padam. Padahal baru diganti beberapa hari lalu. Rasanya ingin sekali mendumal, kalau sudah seperti ini. Sementara ia harus memberi makan anak kucing yang baru ia pelihara dua hari lalu.

Masam wajahnya membuat orang lain gemas, terlebih saat diperjalanan. Anak itu meminta buah yang sedang tidak musim.  Keinginannya sungguh membuat frustrasi. Tapi tetap saja akan diusahakan untuk mendapatkannya.

"Gal, sini, Om udah buat mie goreng  spesial telur mata sapi, nih!" Teriak Ibnu dari arah dapur, sementara yang dipanggil, masih asyik dengan peliharaan barunya.

"Gal! Tadi udah janji, lho. Ayo makan dulu," panggil Ibnu. Bahkan cowok itu sudah  pergi dari sana, memastikan kalau keponakannya tidak tertidur saat memberi maka anak kucing yang sejak kemarin membuatnya gelisah ingin membawa masuk ke dalam kamar.

Ibnu pun melangkah sambil membawa sepiring mie goreng dan segelas susu untuk keponakannya yang masih berada di halaman belakang rumah.  Ibnu menggeleng saat melihat Galuh tertidur di lantai yang dingin. Anak itu benar-benar lelah. Bahkan anak kucing yang harusnya sudah berada di dalam kandang justru ikut tertidur dalam  peluk Galuh. Perlahan Ibnu perjongkok setelah menaruh  barang bawaannya di atas meja berukuran sedang di sebelahnya. 

Hela napas Ibnu lagi-lagi berembus ketika melihat Galuh yang terlelap begitu damai. Anak itu juga belum sempat mengganti seragam sekolahnya.  

"Persis banget sama Abang kalau begini, sembarangan kalau tidur. Titisan emang susah." Gumamnya, kemudian Ibnu pun mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya. Belum juga melangkah, ponselnya berdering seraya mengacaukan segalanya sampai membuat Galuh terbangun. Tapi detik berikutnya Galuh kembali memejam.

"Hallo, kenapa Kak?"

Tak ada sahut dari sebrang sana. Hanya ada hela napas yang terasa begitu mencekik.

"Kak? Hallo? Ada apa ?"

"Kak El?"

Sambungan teleponnya terputus, ketika Ibnu akan kembali bersuara. Buru-buru ia masuk ke dalam rumah dan berlari kecil menuju kamar Galuh. Perlahan tubuh itu dibaringkannya di atas tempat tidur lalu ia pun duduk di sebelahnya sambil mengusap lembut rambut keponakannya.

"Gal, kalau ada apa-apa sama Papa dan Bunda kamu, Om yang akan jagain kamu terus, ini janji. Jadi anak yang patuh, ya."

💫💫

Malam tiba, tapi kabar dari Elga atau Fariz belum terlihat sampai detik ini. Berulang kali Ibnu mencoba menghubungi kakaknya. Tapi hasilnya tidak ada jawaban sama sekali. Sejak sore tadi Galuh tidak mau makan apa pun, bahkan mie goreng yang dibuatnya saja tak disentuh, kini anak itu memilih duduk disebelah Ibnu sambil bersandar menikmati siaran televisi yang digantinya berkali-kali.

"Om... Bunda mana?" ucapnya lirih. Sejak tadi yang disebut hanya nama Elga, binar matanya berubah sendu ketika ia mendongak dan Ibnu menunduk untuk melihat bagaimana sedihnya Galuh saat ini.

"Bunda masih dijalan, makan dulu, gimana? Atau kita telepon Om Genta atau Om Irgi, mau?" Galuh menggeleng, anak itu justru merapatkan tubuhnya lalu menangis, membuat Ibnu semakin khawatir.  Ibnu tidak pernah sekhawatir sekarang jika Elga atau Fariz pulang larut, tapi waktu telah membawa kabar yang baru tentang keberadaan mereka. 

"Gal, jangan nangis, kita keluar aja gimana? Kita beli apa yang kamu mau deh, yuk," ucap Ibnu ketika ia mencoba menenangkan keponakannya. Bahkan Ibnu sudah memangku Galuh dan memeluknya. Anak itu masih saja menangis dan menolak semua yang Ibnu tawarkan.

JEJAK ASA (Selesai)✅Où les histoires vivent. Découvrez maintenant