Delapan Belas Bulan Sebelumnya.

10.2K 1.1K 27
                                    

"Saudara, dapat kami informasikan bahwa pada hari ini pihak New Sky Airlines menyerahkan jenazah korban pertama kecelakaan pesawat New Sky Airlines NW-300 yang telah berhasil diidentifikasi kepada pihak keluarga di rumah sakit Polri, Kramat Jati. Diketahui, korban behasil teridentifikasi berdasarkan kecocokan antara sidik jari dengan data kependudukan."

"Jenazah korban kecelakaan New Sky Airlines NW-300 tersebut telah terkonfirmasi identitasnya atas nama Saniya Djamaris yang merupakan bla bla bla—"

Bak disiram seember es batu, Prisha membeku. Dia bahkan nggak lagi bisa mendengar lebih lanjut omongan yang disampaikan oleh pembawa berita di televisi. Matanya yang tadi mengedar asal di warung bakso otomatis terpaku pada gambar yang tampil di atas layar.

Lebarnya paling cuma 14 inchi, dengan ukuran itu wajah dari siapa-siapa yang tengah berbicara dalam benda tabung yang terkesan kuno tersebut jelas nggak mampu terpindai secara sempurna. Belum lagi ditambah suara-suara berisik orang-orang yang meneriak-neriakkan request pesanannya, atau obroalan-obrolan yang tercipta yang saking riuhnya betul-betul ibarat bunyi gerombolan kumbang.

Ogh! Ya, noisy, ya crowded. Jujur, Prisha nggak pernah suka Jakarta.

Yah. Bagi Prisha situasinya memanglah seburuk itu. Meski demikian, Prisha toh tetap tahu. Kendati itu hanya terlihat sekelebat, Prisha tetap tahu dan yakin jika sesesok pria yang tampak berdiri bersisian bersama seorang petugas berseragam kepolisian itu benar adalah 'dia'. Dia yang walau terus menundukkan kepalanya dalam, tapi nggak lantas sanggup menghapus ingatan Prisha akan postur itu. Postur jangkung yang rasanya selalu dapat Prisha kenali di luar kepala. Sebab, dulu hanya bila dia nggak kegeeran maka, mereka nyatanya sempat membayangi satu sama lain. Pria itu selalu lebih mengerti Prisha daripada dirinya sendiri pun sebaliknya. Lalu ... sekarang apakah juga masih sama?

Ah, terdengar seperti mimpi yang keblinger.

Dua setengah tahun udah jauh lewat dari terkahir mereka saling bertemu. Sebagai seseorang yang pernah pria itu sebut sebagai 'teman', biarpun nggak mudah Prisha tetap berharap apabila suatu hari mereka saling melihat lagi maka, senyumlah yang ingin Prisha lihat pertama kali untuk terpatri di wajah pria itu. Sama sekali nggak pernah memiliki bayangan terlebih asa kalau setelah seluruh waktu yang menjeda di antara mereka ... justru dukalah yang pertama kali wanita itu temukan tergambar serta mengarak dengan memilukan di wajah pria itu.

Prisha belum sempat mendengar apa yang orang-orang di layar televisi tersebut lebih jauh katakan karena, dari arah salah satu meja di sudut warung seseorang udah keburu memanggil-manggil namanya.

"Mbak Pris, sini sini!" Jesika melambai-lambaikan tangannya meminta Prisha segera mendekat.

Memutar kepala membelakangi telivisi yang kali ini mungkin telah berganti guna menayangkan live report wawancara dengan pihak berwenang, Prisha menebar satu senyum basa-basi sebelum duduk di seberang tempat Jesika.

"Udah Jes pesenin. Mbak Pris suka bakso urat kan? Tadi jes pakein tetelan juga cuman sambelnya sengaja belom Jes masukin. Mbak Mon juga masa cuman ngasih istirahat 15 menit coba tega banget ihhh," gerutu cewek bernama Jesika yang khusus hari ini bertugas sebagai rekan kerja sekaligus teman makan siangnya.

Prisha refleks melampirkan segaris senyum kecil untuk menanggapi ocehan Jesika, sedang tangannya mulai memegang sendok yang tergeletak di samping mangkuk bakso miliknya. Nggak langsung tancap gas seperti Jesika—mengingat waktu break mereka sangat terbatas sebab, hari ini flower shop tengah kebanjiran orderan—dia justru kembali melirik ke arah televisi.

Kali ini, tayangannya berganti dengan memuat soal kronologi terkini mengenai jatuhnya pesawat tujuan Padang yang di hari Minggu sore kemarin begitu saja hilang kontak pasca-beberapa belas menit saja lepas landas dari bandara Cengkareng.

Jangan Ada Air MataWhere stories live. Discover now