🦋 Imperfect = 2 🦋

23 17 1
                                    

"Lo tahu jurus ampuh kalau lagi merasa badmood? Makan aja dijamin langsung happy. Ya asal jangan makan temen ya, ntar lo dimakan balik!"

-Ruminten-

Hari sudah hampir tengah hari, waktu untuk makan siang sudah tiba. Semua orang berlomba untuk makan demi memuaskan perut yang kelaparan. Tidak, ini kebutuhan biar bisa bertahan hidup.

Sama halnya dengan cewek yang tengah menatap dengan tatapan memelas sambil mengusap perutnya. Tenaganya habis untuk memahami pelajaran yang diberikan sebelumnya. Terlebih lagi tadi tidak sempat sarapan karena bangun kesiangan.

"Guee laperr," gerutu Ruminten sambil memukul meja.

Mendengar gerutuan Ruminten yang nggak pake klakson tadi, membuat teman sebangkunya mendelik karena terkejut.

"Woy! Lo kalo mau gerutu yang bervolume besar gitu pake permisi dulu kek, gue 'tuh lemah lembut!" semprotnya balik sambil mengusap kupingnya. 

Sebagai manusia yang berahlak dan berbudi pekerti yang baik, jika diberi maka harus dibalas. Apalagi dikasi semprotan gitu, ya disemprot balik lah! Begitu pikir Ruminten.

"Etdah, gue tuh laper! Harusnya 'tuh sebagai teman yang berbudi pekerti luhur, lo berinisiatif buat nyumpel mulut gue pake makanan!" semprot Ruminten balik.

"Duit dari mana, ogeb."

"Dari hasil lo sama sugar daddy, lah!" cerocos Ruminten.

"Wah, nggak bener nih. Kudu di rukiyah, lo mah!" seru seseorang yang berjalan mendekat ke arah mereka.

"Nah, akhirnya pawang lo dateng. Arlanta! Urusin nih Si Ruminten, laper katanya."

"Iya, ini mau ajak Ruet makan."

Arlanta memanggil Ruminten dengan nama panggilan Ruet. Nama khusus untuk orang yang khusus bagi cowok itu. Dengan perlakuan Arlanta yang begitu baik dengannya, tetap saja cewek itu tidak peka dengan perhatian yang Arlanta berikan.

Begitu mendengar ajakan Arlanta, membuat mata Ruminten jadi berbinar-binar. "Akhirnya ada yang peka sama gue," ujarnya sambil bersujud syukur.

Ruminten memang manusia yang unik dan tanpa rasa malu—atau jangan-jangan, urat malunya udah putus kali ya?

Tanpa babibu,  Ruminten langsung menarik Arlanta menuju kantin. Cewek itu begitu semangat sampai tidak sadar menggenggam erat tangan Arlanta. Padahal biasanya dia jarang untuk menggandeng Arlanta, kecuali di kondisi seperti ini, saat ada suara yang berdendang dari perutnya alias saat dia kelaparan tingkat akut. Ditarik tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, membuat Arlanta terharu.

"Lo nggak makan berapa hari jadi semangat kayak gini?" 

Namun, pertanyaan itu tidak digubrisnya lagi. Di pikiranya sekarang hanyalah makan, makan dan makan. Tidak ada ruang untuk berpikir.

"Ya ampun, kacang mulu."

"Hah? Mana kacang goreng?"

"Di supermarket."

Ekspresi di wajah Ruminten langsung berubah, dari cerah menjadi suram. Langsung saja cowok itu dihadiahi pukulan pelan di bahunya.

"Tahu ah, males banget." Cewek itu langsung melepas genggamannya dan melangkah menuju bangku kantin yang kosong. Mereka sudah sampai di kantin, tempat idaman anak sekolah.

"Tunggu dong. Kan gue bener. Beli di supermarket ada tuh beraneka macam snack," ucap Arlanta seraya duduk di sebelah cewek itu.

"Masa marah sih? Gitu doang."

Beberapa menit mereka habiskan dalam diam, Ruminten masih diam dan mendiamkan cowok itu juga. Hingga ada sesuatu yang terlintas di ingatannya. Merasa diperhatikan membuat Arlanta menengok ke arah Ruminten.

"Ruet, lo ngapain sih natap gue sampai segitunya? Perasaan gue nggak ada utang ke lo deh."

"Ada!" Ruminten mendelik ke arah Arlanta.

Arlanta tampak terkejut, "Sejak kapan njir? Nggak ada cerita ya gue utang ke lo."

"Lo nggak ingat? Apa yang lo lakukan itu jahat, Arlanta!"

"Lah apaan njir?"

"Lo berhutang sebuah janji! Katanya lo mau bawa gue jalan-jalan ke Matos—Malang Town Square. Tapi, nyatanya, malah lo lupa kan?!"

Ditodong janji gitu bikin Arlanta jadi berpikir sejenak.

Emang sejak kapan gue ngasih janji gitu ya ke Ruet? batin Arlanta.

"Pasti lo meragukan ucapan gue kan? Bangke emang lo!" cerocos Ruminten bak peramal terkenal.

"Iya. Emang gue lupa! Emang kapan sih gue ngasih janji kek gitu?" tanya Arlanta heran.

"Bentar-bentar, sebelum itu, lo emang sesuka itu ya ke gue? Sampai-sampai nggak rela lepasin tangan gue?" tanya Ruminten sambil tersenyum lebar.

Mendengar hal itu, Arlanta berpura-pura muntah.

"Eh! Napa jadi muntah lo?" tanya Ruminten heran.

"Ya iyalah, kita temenan udah dari kapan? Kita dulu bahkan pernah tidur bareng, pelukan bareng, nangis dan ngompol bareng waktu masih bocah ... jadi, nggak ada kata jaim-jaim diantara kita ya. Ini cuman pegangan tangan doang anjir," jelas Arlanta melebihi panjangnya kereta api, eh nggak deng, masih lebih panjang rel kereta api daripada penjelasan Arlanta tadi.

Ekspresi Ruminten berubah menjadi cengiran yang lebar—selebar jalan tol, ngawur. Robek dong wajahnya?

Sambil menabok punggung Arlanta ia berkata, "Iya gue tahu. Gue cuman terharu aja. Yaudah deh, lo aja deh yang antri beli makanan. Laper berat nih gue."

"Ih, kalau lapar ya beli lah. Lo kira gue babu lo apa?"

Dengan tatapan tajam dan bibir yang cemberut langsung membuat Arlanta tertawa dan mengusap lembut rambut Ruminten.

"Iya deh, dasar. Ingat, nggak gratis. Nanti gue tagih. Awas lo kabur."

Langsung cewek itu tersenyum dan mengacungkan jempolnya. "Siap, my bro."

Sebenarnya, Arlanta tidak masalah juga kalau Ruminten tidak mengganti uangnya. Dia selalu iklas untuk membantu orang lain, apalagi Ruminten. Mereka sudah berteman sejak lama, dia sudah nyaman bersama cewek itu. Menghabiskan waktu bersama dari kecil hingga sekarang sudah SMA kelas 11.

Cowok itu tahu apa makanan yang disuka Ruminten, apa yang membuat cewek itu alergi serta warna kesukaannya. Setelah memesan makanan dan minuman, langsung dibawa makanan dan minuman itu dengan nampan.

Cukup lama untuk kembali ke meja makan karena tadi mengantri cukup panjang. Hal yang wajar karena banyak orang yang ke kantin untuk makan siang.

"Permisi, tuan puteri. Ini makanannya."

Ruminten langsung tersenyum, sedaritadi dia terus menatap Arlanta, cowok yang digandrungi oleh kaum hawa di sekolahnya, dari adik kelas hingga kakak kelas. Bahkan, guru-guru juga menyukainya karena dia bisa diandalkan dan menjadi langganan menjadi ketua kelas.

Anehnya dia malah memilih Ruminten sebagai temannya, tetap setia bersamanya meskipun bisa saja dia memilih bersama teman baru dan cewek yang lebih cantik. Padahal kalau Ruminten seterkenal Arlanta pun dia pasti akan memanfaatkan kesempatan untuk dekat dengan cowok tampan, lumayan buat cuci mata.

"Nih, biar lo nggak ngidam makan bakso mulu. Udah gue kasih kecap manis yang banyak. Nanti lo gelisah lagi karena kecapnya kurang banyak."

"Lo emang paling keren, ngertiin gue banget!"

Wajah Arlanta memerah, perasaannya menghangat begitu mendengar pujian dari Ruminten. Pujian yang sederhana, tetapi berarti baginya yang jarang menerima pujian itu.

-Bersambung-

First Love  (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang