20: Akhir

44 14 4
                                    

Waktu terus berjalan, angin kembali berhembus membawa helai-helai rambut Ruminten berterbangan. Gadis itu tersenyum, perasaannya lega. Akhirnya dia mengucapkan rahasia yang tidak ingin diucapkannya. 

Hidupnya penuh ketidakjelasan, perasaannya juga demikian. Sejujurnya gadis itu membenci dirinya sendiri. Semakin dia keras kepala, malah membuat dia tidak bisa menggapai mimpinya. Dia hanya ingin keluarga yang utuh, ternyata dia dikejutkan oleh ucapan ayahnya yang ingin mengadopsi seseorang, sialnya orang itu adalah pacar Arlanta. Dia tidak sanggup memikirkan mereka akan sering bertemu nantinya. 

Ruminten memang suka sering bertemu dengan Arlanta, tetapi bukan dia yang dicari cowok itu melainkan adik tirinya. Dia tidak sanggup, tidak akan sanggup. Arlanta itu bintang kehidupannya, orang yang selalu ada disisinya dan memahami perasaannya. Dia tidak pernah menaikkan nada bicaranya, sefatal apapun hal yang dilakukan Ruminten. Arlanta tipikal cowok yang memilih menemani dan memastikan dia tidak kembali melakukan hal yang fatal dibandingkan memarahinya. Arlanta berpikir memarahi Ruminten hanya memperburuk situasi, dia tidak ingin melukai gadis itu. Sayangnya, dia malah melukai gadis itu semakin dalam.

Meskipun mereka berpisah, tidak sedikitpun terlintas di benak Arlanta untuk menjauh dari gadis itu. Dia tidak mau kehilangan cewek itu sebagai sahabat. Mereka sudah sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Ternyata benar kata orang, lebih baik berpisah dengan tidak baik-baik karena lebih mudah untuk melupakan orang itu dibandingkan berpisah secara baik-baik. Ruminten tidak punya alasan untuk membenci Arlanta. Semakin dia mengabaikan perasaannya, dia malah semakin dalam mencintai cowok itu. Ruminten selalu mencintainya, hanya Arlanta.

Namun, mereka tidak bisa bersama. Mamanya menjodohkan adik tirinya dengan Arlanta, hal yang tidak mungkin dia bantah. Melupakan Arlanta menjadi solusi yang harus dilakukannya. Terlebih Arlanta sudah lebih dahulu move on darinya. Sayangnya, Ruminten tidak kuasa untuk melupakan semua kenangan yang mereka lalui.

Menerima Rubi menjadi hal yang dilakukannya demi melupakan Arlanta. Dia memang jahat, tidak sepantasnya dia menjadikan cowok sebaik Rubi sebagai pelarian. Mungkin, sudah sewajarnya dia yang sadar diri untuk mengungkapkan kebenarannya. Kebenaran bahwa dia masih mencintai Arlanta meskipun mereka tidak boleh bersama. Apalagi keadaan adik tirinya yang tengah sakit, dia semakin menjadi orang yang jahat.

"Kaget ya?" tanya Ruminten lagi. Tatapannya meredup, dia sudah menyerah dengan keras kepalanya. Semakin dia berusaha dan mengabaikan kenyataan, dia hanya akan menyakiti dirinya sendiri karena dia semakin jatuh hati dengan Arlanta.

Rubi dan Arlanta mengagguk bersamaan, ekspresi terkejut terlihat jelas dari ekspresi mereka. Ruminten tersenyum getir, dia harus mengakhiri semuanya.

"Maaf nggak ngabarin. Ada masalah keluarga, kondisinya rumit. Aku bingung mau mulai darimana. Akhirnya aku nggak ngabarin kalau ada anggota baru di keluargaku. Kita bakal jadi saudara, Ar. Lo bakal tunangan, kan, sama dia?"

"K-kita jadi saudara?"

"Iya. Bagus, kan? Ah, tapi lo tenang aja. Kalo lo risih, gue bisa menjauh, kok."

"Nggak, jangan menjauh!" cegah Arlanta lagi. Cowok itu masih takut kehilangan gadis itu. Namun, dia tidak bisa melarang Ruminten untuk menjauh darinya.

"Udah, Ar. Udah cukup. Gue udah nggak bisa berteman sama lo lagi. Cukup sampai disini, ya? Gue seneng bisa sahabatan sama lo. Gue nggak bisa lupain, lo. Gue nggak sanggup." Nada suara Ruminten terdengar gemetar, dia berusaha sekuat tenaga mengabaikan rasa malunya. Dia tidak tahu diri, mempermainkan perasaan Rubi. Gadis itu memandang ke arah Rubi dengan perasaan bersalah.

"Bi," ucapnya serasa meraih jemari cowok itu. Ruminten tersenyum getir.

"Gue minta maaf, Bi. Gue tahu gue jahat, seenak jidatnya gue malah mainin perasaan lo. Gue salah, Bi. Tapi, lo tenang aja. Gue bakal lepasin lo. Lo berhak dapat cewek yang lebih baik dari gue. Gue brengsek, Bi. Gue nggak pantas dapetin lo. Lupain gue, ya? Maafin gue juga. Ah, nggak usah dimaafin juga nggak apa-apa, deh. Gue pantes nggak dimaafin. Lo berhak marah ke gue, Bi. Apa yang gue lakuin ke lo itu jahat," lanjut Ruminten. Matanya sudah berkaca-kaca, dia tidak sanggup memanang manik mata Rubi. Begitu dia memberanikan diri menatap manik mata cowok itu, air matanya langsung menetes, tatapan cowok itu tersirat kekecewaan yang teramat dalam. Namun, dia masih tersenyum tipis. 

"Gue tahu, kok. Gue sadar dan bisa ngerasain lo masih ada rasa ke Arlanta. Dari awal gue udah meragukan perasaan lo ke gue. Gue ragu dan mempertanyakan kenapa lo secepat itu nerima gue? Kenapa lo masih merhatiin Arlanta diam-diam? Kenapa lo nggak mandangin gue setulus lo ngelihat Arlanta? Gue terus bertanya-tanya. Tapi, gue udah bertekad untuk tidak melukai lo lebih dalam lagi. Gue nggak mau kelepasan, gue sesayang itu sama lo, Rum," ujar Rubi. Cowok itu menggenggam erat jemari Ruminten. Dia tidak berniat melepaskan cewek itu.

"Gue jahat, Bi."

"Gue tahu. Tapi gue cinta sama lo. Mencintai lo itu tidak ada dalam rencana hidup gue. Namun, Tuhan hadirkan lo dan buat gue jatuh cinta sama lo. Jadi, kalau lo tanya kenapa gue bisa secinta ini sama lo, gue belum bisa jawab. Gue juga nggak tahu, Rum. Gue hanya berharap, terus berharap suatu hari perasaan gue akan berbalas. Akhirnya lo mau pacaran sama gue. Meskipun gue meragukan perasaan lo, tapi gue enyahkan semua itu. Gue benar-benar mau menjaga perasaan lo dari kata kecewa, gue mau menemani lo melewati masa-masa trauma lo. Please, gue butuh lo. Jangan pergi dari hidup gue, Rum," lanjut Rubi. Binar di matanya membuat cowok itu terlihat semakin tampan. Ruminten bisa melihat ketulusan yang terpancar dari tatapan cowok itu. 

Namun, Ruminten semakin merasa bersalah. Dia semakin merasa rendah diri, dia tidak berhak mendapatkan semua ketulusan itu.

"Bi? Gue nggak layak dapat ketulusan lo. Gue bahkan nggak layak buat hidup. Lepasin  aja gue ya? Lo ganteng, Bi. Lo juga pintar, lo pasti bisa dapetin yang lebih layak buat lo. Lo bisa lihat seberapa besar perasaan bersalah gue ke lo, kan? Lihat mata gue, Bi. Lo bisa merasakannya, kan?" tanya Ruminten lagi. Dia mulai terisak, gadis itu sudah menyerah dengan hidupnya.

"Gue capek, Bi. Capek!" pekiknya lagi. Ruminten berusaha melepaskan diri dari genggaman erat Rubi. Namun, Rubi semakin menguatkan genggaman tangannya pada gadis itu. Dia takut cewek itu akan melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri.

Rubi memeluk erat Ruminten. "Rum, gue menemukan lo di titik terendah gue. Lo memang nggak tahu, tapi lo mau menemani gue dan menghibur gue. Lo mampu balikin senyum gue. Gue nggak bakal biarin lo pergi. Gue maafin lo, jangan ngerasa bersalah lagi ya? Lo itu bintang kehidupan gue. Hidup gue gelap kalau lo pergi. Please, jangan pergi ya?"

Dalam dekapan Rubi, gadis itu menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala kesedihan yang dirasakannya sendirian. Sementara Arlanta hanya terdiam dan tersenyum, dia tidak perlu khawatir lagi dengan kondisi Ruminten karena gadis itu akan aman bersama sahabatnya, Rubi.

-TAMAT-


Note:
Terima kasih buat kak en dan temen-temen seperjuangan di Homebattle ini! Akhirnya Ruminten menemukan akhir ceritanya. Terima kasih sudah mampir, have a nice day!

Salam hangat,
Deph

First Love  (TAMAT)Where stories live. Discover now