PROLOG

45.2K 2.7K 361
                                    

Sebelum aku mulai ceritanya, jawab pertanyaan ini, dong...
Udah follow akun medsos-ku belum? 😝

Wattpad? Masa belum? Follow dulu laaa...
Instagram?
Twitter?

Anyway, aku nunggu komennya banyak-banyak, ya 🥰

Anyway, aku nunggu komennya banyak-banyak, ya 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Aduh.

Teler nih aku.

Dentam musik yang bikin telinga pekak membuatku oleng.

Kayaknya aku sedikit kebanyakan minum, nih. Berdiriku di atas stileto setinggi sembilan senti sempoyongan. Ini berarti tanda bahaya. Alarm buatku supaya melipir dulu ke meja bar dan memesan sesuatu untuk menyegarkan kembali kepalaku yang mulai melayang.

Malam ini aku menyetir dan seharusnya sebelum memutuskan menenggak beberapa shot tequila, aku cukup cerdas untuk tidak mengakhiri malam dengan mabuk-mabukan. Kalau mobil Adrian yang belum lunas cicilannya juga sampai lecet di tanganku, aku bisa dibunuh. (Tentu tidak dalam artian sebenarnya.)

Adrian nggak mungkin mengotori masa depannya yang nyaris menemui titik terang hanya demi mobil yang bisa kuganti dengan merengek kepada Papi. Setelah bertahun-tahun malang melintang mengais peluang dan berjuta kali gagal, kali ini namanya termasuk dalam daftar akhir sebuah audisi bergengsi. Dia yakin akan menjadi satu-satunya model pria yang lolos. Wajah dan tubuh atletisnya akan terpampang di halaman depan website salah satu brand fashion internasional yang sedang melebarkan sayapnya di Indonesia.

Dengan susah payah, aku mencapai meja bar dan berhasil menarik perhatian salah satu bartender.

"What can I do for you, Ma'am?" tanyanya.

"Orange juice, ya? Jangan dikasih apa-apa lagi. Cukup."

"I could drive you home," dia menggoda.

"Thanks, tapi aku nggak lagi buka kelas bagaimana cara memuaskan perempuan yang lebih tua."

Bartender yang tahu dirinya ganteng itu tertawa lebih keras.

"Kecuali kamu benar-benar berminat mengantarku pulang, lalu aku bisa ngasih kamu duit buat bayar taksi balik ke kosanmu?"

"Thanks, but I don't do charity."

"Fair enough," keluhku.

Kalau begitu, aku benar-benar harus mengusir pusing efek alkohol sebelum menabrakkan mobil Adrian ke trotoar.

Apakah tidak dibunuh karena melecetkan mobil Adrian adalah nasib baik? Tidak juga, bisa jadi malah lebih buruk lagi.

Tapi ini salah Adrian juga, sih.

Aku masih kesal kalau mengingatnya. Siapa suruh dia lebih memilih tidur daripada mengantarku ke pesta ulang tahun Dian Rai?

Kalau dia tahu pemilik sasana olah raga tersohor (yang dua tahun terakhir setia memakai jasa perusahaan kecil rintisanku) itu tahun ini mengadakan Pesta Tidak Sehat, dia nggak akan melepas mobilnya begitu saja.

Trapping Mr. MahmoudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang