30. Bianglala dan Senja

47 8 0
                                    

Langit mendaratkan tubuhnya di sofa empuk milik Omah. Ia menaruh lukisan yang telah ia buat bersama Arsha tadi. Langit menghela napas panjang dan memejamkan matanya. Tubuhnya terasa sangat letih, karena beberapa hari ini waktu tidurnya semakin berkurang. Terkadang, ketika bersama Arsha, Langit melupakan rasa letihnya untuk menghibur gadis itu. Namun, setelah tiba di rumah, barulah Langit dapat melepaskan penatnya.

Tak lama, Omah datang dengan membawa sebuah cangkir berisi teh hangat dengan asapnya yang masih mengepul. Ia menaruh tes tersebut di meja depan Langit dan sempat melirik pada lukisan telapak tangan itu. Kemudian, Omah beranjak duduk di seberang Langit.

"Langit," Langit sama sekali tak membuka matanya meskipun ia dapat mendengar kalau Omah memanggilnya.

"Omah perhatikan kamu sedikit berubah. Kamu lagi ada masalah, ya? Cerita ke Omah, Lang. Kamu udah terlalu sering simpan semua masalah kamu sendirian. Omah juga, kan, mau tau."

"Lang, kalau kamu capek, ada baiknya kamu istirahat dulu." Langit tetap geming di tempat.

Omah hanya bisa menghela napas ketika Langit tak kunjung menjawab ucapannya. Dirinya kembali bangkit dan menepuk pelan pundak Langit.

"Itu tehnya jangan lupa diminum, abis itu istirahat. Omah nggak mau kalau kamu sampai sakit, Lang." usai mengatakan itu, Omah berlalu pergi meninggalkan Langit sendirian yang masih memejamkan kedua matanya.

Ketika tak lagi didengar sebuah suara, dan hanya ada keheningan, Langit kembali membuka mata. Pandangannya kosong menatap kepulan asap dari teh di depannya. Ia sama sekali tak berniat meminumnya. Langit merasa rasa manis di teh itu tak akan mampu menghilangkan kenyataan pahit yang Langit alami

Lagi, Langit menghela napas panjang, kemudian memilih pergi menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamar sembari membawa lukisan tersebut, dan mengabaikan teh buatan Omahnya. Setelah itu, Langit beranjak naik ke atas tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana.

"Apa gue akan kehilangan orang yang gue sayang untuk kedua kalinya?" gumamnya bersamaan kedua matanya yang perlahan memejam.

Saat kesadaran Langit perlahan menghilang, tiba-tiba saja ponselnya berdering kencang. Langit membuka kembali kedua matanya yang terasa berat, ia kemudian merogoh sakunya dan mengambil ponsel dari sana. Ternyata Arsha yang meneleponnya. Dengan posisi terlentang, Langit menerima panggilan itu.

"Kenapa, Sha?" tanya Langit dengan suara yang sedikit serak.

"Nanti sore temenin aku jalan-jalan yuk, Lang."

Langit mengusap wajahnya yang begitu suntuk, "Kemana, Sha?"

"Ke pasar malam."

"Oke, nanti sore gue jemput lo, ya."

"Kamu nggak terpaksa, kan, Lang? Soalnya dari pagi kamu sama aku terus, takutnya kamu bosan."

"Nggak, Arsha cantik. Justru kalau itu bikin lo seneng, gue juga ikutan seneng," ucap Langit seraya melirik jam dinding di kamarnya. Masih ada waktu dua jam untuk dirinya beristirahat.

"Oke, makasih banyak, Langit. Teleponnya aku tutup, ya?"

"Hmm, iya." setelah mengatakan itu, Langit kembali memejamkan mata dan meletakkan ponselnya di samping. Kedua mata Langit sudah sangat berat dan tanpa menunggu waktu lama untuk laki-laki itu terlelap sepenuhnya. Terdengar dengkuran kecil dari Langit.

Ia tak menyadari bahwa telepon itu masih tersambung. Arsha sama sekali belum mematikan sambungan telepon dan saat mendengar dengkuran dari Langit, Arsha menyadari bahwa Langit sepertinya sangat kelelahan.

🌿🌿🌿

"Langit, ayok naik bianglala!" pinta Arsha menggebu-gebu. Sebuah senyuman tercetak jelas di wajahnya. Langit tak bisa menolak jika sudah begitu. Ia balas tersenyum dan mengangguk. Kemudian, keduanya berjalan menuju antrean di loket.

Sandyakala [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang