7. Sandiwara Hati

922 100 17
                                    

Magani memijat kepalanya pening. Handphone yang diletakkan sembarangan di sisi meja kerja itu berdering tanpa henti. Dari kepala Dinas Pekerjaan umum, staff Dinas Pariwisata, anggota DPRD, hingga para wartawan yang haus berita. Akibat tak hadir rapat dua minggu lalu, ia kena imbas mulut asal jeplak asisten 3 yang ketika itu dideligasikan untuk mewakili Magani.

Banyak pihak menudingnya tak beradat dengan pemberian izin pembangunan bantaran sepanjang aliran sungai yang membelah kota sehingga rumah-rumah apung digusur. Magani sudah mewanti-wanti sebenarnya, ia bukan menggusur, tetapi merelokasi ke tepian. Nantinya daerah itu akan dikonsep sebagai kampung wisata, berdampingan dengan sentra pembuatan kain tradisional khas daerah, juga akan dibangun masjid terapung bekerjasama dengan yayasan Laksamana Cheng Ho. Tapi akibat salah ucap asistennya, fatal dan batal jualah semua.

Magani muak dengan para oknum anggota DPRD yang terkesan cari panggung. Menyerangnya tanpa mau mendengarkan penjelasan. Bahkan file presentasi yang telah ia siapkan diabaikan mentah-mentah.

"Kok bisa begini, Gan?" ucap Papa mertuanya ketika mereka berada di ruangan pribadi wakil walikota.

"Pak Gustaf, asisten 3 yang dua hari lalu mewakili saya rapat di Dinas Pariwisata terlibat adu mulut dengan para budayawan yang berujung salah paham. Dia menyampaikan kalau rumah apung akan digusur tanpa konpensasi. Padahal saya sudah wanti-wanti, tak ada kompensasi karena direlokasi bukan digusur." Magani mendesah lelah. Kepalanya nyut-nyutan.

"Kamu ga mengajukan klarifikasi?"

"Gimana mau klarifikasi, Pa, oknum DPRD udah pada berkoar duluan mau mengajukan mosi ketidakpercayaan. File presentasi saya ditolak, wartawan juga bikin narasi ngarang bebas semua. Malah cenderung kompor."

"Baiknya kamu buat forum diskusi aja di open stage hutan kota. Nanti biar pihak humas yang ngurus ngundang kepala instansi dan budayawan, DPRD dan wartawan biar jelas sekalian. Mereka cari panggung, biar kita sediakan." Papa menepuk pundak Magani menenangkan.

Magani mengangguk setuju. Otaknya sedang buntu. Mumet. Belum lagi perihal rasa nyeri punggung dan pinggang yang kian sering mendera.

"Pengobatanmu di Jakarta kapan dilanjut?"

"Belum tahu, Pa. Kondisi pemerintahan lagi carut-marut begini. Lagi pula saya juga gak tega meninggalkan Alana setelah kejadian waktu itu."

"Sempatkan, Gan. Mungkin awal bulan depan kamu bisa pengobatan sekalian gantiin Walikota yang umrah untuk nerima piala adipura. Urusan Alana biar nginep di tempat Papa dan Mama," usul Papa sekaligus memperingatkan Magani.

"Kamu adalah anak lelaki kebanggaan bagi Papa, Gan. Berusahalah untuk sembuh demi Alana dan cucu papa."

Keduanya berpelukan haru. Magani gamang sebenarnya. Mengapa di saat hubungannya dan Alana menghangat, ia justru akan berpamit pergi seperti ini?

***

Mata Magani memerah. Ia menahan lelah dan kantuk seharian ini. Jarum jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Proses diskusi berjalan alot. Ada provokator di antara pihak pemko dan budayawan.

"Saya ajukan opsi. Pembangunan bantaran sungai saya cabut perizinannya dengan konsekuensi mimpi punya kampung wisata apung pupus, tidak ada evakuasi jika ada kebakaran dan kebanjiran, serta tidak ada penataan dan pengerukan areal sungai. Terserah sampah-sampah di sana mau dibuang ke mana? Satu hal lagi, tidak ada foging jika terjadi demam berdarah. Atau rumah apung saya relokasi tanpa kompensasi karena akan kami bangunkan kampung wisata sekaligus penyediaan areal wirausaha bagi warga yang legal dan tanpa sewa. Pilihan saya kembalikan kepada warga dan para budayawan yang terhormat. Konsep kampung apung wisata bisa kalian pelajari di blue print yang sudah saya berikan di awal tadi tanpa sebelumnya Anda mau baca. Selamat malam." Magani beranjak dari kursinya menuju parkiran mobil. Ia sudah jemu, telepon dari Alana juga berkali-kali menginterupsi meminta pulang.

Magani pasrah. Jika harus mundur sekalipun ia siap. Toh menjadi wakil walikota bukan ambisi, melainkan tanggungjawab. Urusan materil ia percaya perkebunan sawit juga karet milik keluarga masih sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya dan Alana.

Tak banyak yang tahu, hampir lebih dari separuh gaji Magani ia alokasikan untuk membangun gedung sekolah yang perlu renovasi tanpa mengajukan APBD, juga membantu pengadaan barang dan jasa bagi warga batas kota.

"Gan, istirahat dulu. Kamu bukan robot!" tegur Alana ketika melihat Magani masih berkutat dengan pekerjaan sepulang dini hari tadi.

"Sebentar, Al, tanggung. Biar aku beresin ini dulu baru istirahat. Besok masih ada agenda lain yang harus kukerjakan."

"Ya Tuhan, Magani Adhirajasa! Kamu manusia biasa, bisa drop. Tubuhmu bukan mesin yang terus dipaksa untuk menyenangkan semua orang ga akan tumbang. Istirahat, Gan. Sekali-kali egois dengan tubuhmu sendiri, tunaikan hak dia." Alana menyentak. Dia sudah menyerah menegur Magani dengan cara lembut.

"Tapi mereka butuh solusi segera, Al," desah Magani lelah.

"Dan kamu butuh istirahat segera Bapak Wakil Walikota!"

"Al, aku sudah terlalu banyak istirahat dengan gak hadir rapat dan koordinasi di Dinas Pariwisata seminggu ini. Dampaknya kamu lihat sendiri sekarang? Semua kacau!" emosi Magani tersulut. Ia sedang kalut.

"Magani Adhirajasa! Berhenti menyalahkan diri kamu sendiri atas ketidakpuasan orang lain. Ada banyak hal lain di luar sana yang bukan jangkauan kita. Kita gak pernah tahu mana yang sebenarnya pendukung dan penumbang. Manusia punya batas, Gan. Sekarang terserah kamu masih mau kerjain itu sampai tumbang atau ambil waktu sejenak buat istirahat. Aku duluan." Alana berujar sembari meninggalkan Magani sendiri di ruang kerjanya. Bayinya mulai aktif bergerak di dalam, sepertinya paham sang bunda sedang tak stabil sekarang.

***

Magani masih asyik mengusap perut Alana, mengobrol dengan bayinya yang sesekali dibalas tendangan halus. Setelah adegan Alana memarahinya kemarin malam, Magani menyusul ke kamar ketika istri cantiknya itu telah tertidur.

"Kak, dulu Ayah pikir Bunda itu pendiam, eh taunya kalau ngomel serem ya? Kamu nanti kalau udah keluar jangan bandel, nanti mengkeret kayak jeruk mandarin keujanan pas diomelin Bunda," canda Magani terkekeh sendiri.

"Oh ya, Kak, kalau besar gak usah jadi psikolog ya? Bunda aja cukup. Kalau di rumah kita ada dua psikolog, nanti yang stres Ayah."

"Kak, Bunda kalau bobo cantik deh. Pas bangun juga cantik sebenernya, asal jangan pas ngambek aja sih. Ayah paling suka mata Bunda. Bening, hidup, dan hangat. Kamu mungkin nanti sukanya ASI Bunda ya?"

"Eh nendang," pekik Magani girang. "Bener suka ASI bunda? Waah ayah alamat puasa nih."

"Ayah pengen deh, Kak, abis ini kita tinggal di rumah yang Ayah beli. Emang sih gak seluas rumah yangkung atau opa, tapi halamannya lapang, Kak. Kamu bisa main di sana. Nanti Ayah bikinin ayunan, rumah-rumahan dari kayu, sama prosotan lumpur. Sttt ... kalau diomeli Bunda bilang aja berani kotor itu baik ya?"

Mata Magani sejenak menerawang. Ia takut tak bisa mendampingi tumbuh kembang sang anak nantinya. Tuhan, haruskah ia pergi dan membiarkan anaknya dewasa tanpa bimbingan seorang ayah? Dada Magani sesak. Hatinya mencelos pasrah.

"Tapi nanti mainnya sama Bunda aja ya? Ayah mungkin ga bisa nemenin kamu main."

"Ayah emangnya ke mana?"

Magani terperanjat, tak menyadari istrinya terbangun. Buru-buru disekanya airmata.

"Pertanyaan Bunda belum dijawab lho," tegur Alana.

"Ayah kan kerja, Bunda," kilah Magani.

"Tapi kan weekend bisa?"

"Semoga." Doa Magani tersirat.

"Kok semoga?"

"Ya kan gak tau kalau tiba-tiba Ayah rapat?"

"Hah kamu mah, Gan, kerjaan terus dipikirin. Heran aku, libur juga kerja," sangut Alana jengkel.

***
1119-2021-09-07-19.45

Sandiwara HatiWhere stories live. Discover now