29. Remuk (2)

94 21 22
                                    

Telah terhitung kedua kali bagi Yuna untuk memeluk lelaki ini. Sesungguhnya Yuna amat malu sampai merutuki diri sendiri. Tapi, sudah terlanjur dilakukan, dan Yuna juga butuh dia. Nasib baik Jaebum tidak risih ataupun mendorongnya, bahkan dia tak keberatan untuk membalas.

Sedikit sulit bagi Yuna untuk membuat pembelaan pada dirinya sendiri di waktu sekarang. Lidah sekaku batu, dan otak yang tak pernah absen bereaksi negatif setiap kali disangkut-pautkan tentang kejadian itu. Mudah-mudahan lelaki itu bisa memaklumi Yuna, baik batin maupun fisiknya yang sedang kacau dan sejelek ini.

Air mata Yuna turun, menetes dan terus menetes. Isakan kedua, ketiga, dan seterusnya adu berkolaborasi dengan getaran tubuh.

Jaebum pribadi terkesiap ketika Yuna melakukan itu. Namun, ia membiarkan. Sekaku apa pun Jaebum, ia masih punya perasaan pada manusia bernasib nahas seperti Yuna yang bisa remuk kapan saja. Jadi, ia tepuk-tepuk pelan punggung Yuna, mencoba membagi sensasi ketenangan.

Dari awal, Jaebum sudah ancang-ancang kalau suatu hari tangisan gadis itu bisa pecah akibat ancaman pembunuhan yang ia terima. Terus terang, ia takut dan ragu jikalau itu terjadi, karena entah ia mampu atau tidak untuk menjadi sandaran. Jaebum juga ingin membantu meskipun tidak berpengalaman sama sekali dalam menenangkan seseorang yang diselimuti keterpurukan.

Memasang telinga demi menampung keluhan Yuna mungkin bisa cukup untuk menolong. Yang jadi masalah, gadis ini terus saja terisak-isak. Belum ada sepatah kata pun yang terucap. Maka Jaebum cuma bisa menunggu.

Sudah sejauh mana, sih, Jaebum mengenal Yuna? Ia rasa cukup jauh. Yuna itu ... bagaimana, ya? Dia baik, berani––saat keadaan menakutkan pun masih coba ia tantang––tetapi tetap punya jiwa perempuan besar yang wajar. Jadi mustahil kalau Yuna begini tanpa ada sebab yang serius, kecuali sesuatu telah mengganggu pikiran atau menghantam ketenangannya habis-habisan.

"Aku lega kau kembali hidup-hidup."

Sekian menit menanti, akhirnya Yuna bicara juga. Ini yang Jaebum tunggu-tunggu.

"Dari tadi aku takut apa kau akan kembali atau tidak? Dan apa kau akan bertarung lagi? Terserah kau mau percaya atau tidak, tetapi rasanya aku mau gila kalau melihat tubuhmu robek dengan berlumuran darah. Tolong jangan seperti itu lagi!"

Jaebum mengerti. Sepertinya ... Yuna ditimpa trauma lagi. Jaebum yang ketidaktegaannya pecah, tanpa ragu menggerakkan diri untuk melingkarkan tangan di kepala belakang gadis itu, tak lagi hanya menepuk-nepuk seperti di awal. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Lihat, sekarang aku baik-baik saja. Maaf, Choi Yuna."

Hati Jaebum mengilu mendengar Yuna bicara seolah itu adalah kepedihan yang besar. Yuna bahkan tidak menangis keras saat tahu fakta bahaya tentang jantung bangsa Lorzt dan masalah pembunuhan yang mengintai. Tapi sekarang dia berderai air mata karena khawatir berlebih pada Jaebum?

Atau Jaebum hanya salah dugaan saja? 

Yuna sesenggukan. "Tapi ... mimpinya! Mimpi yang pertama saja pertanda nyata, jadi ini bukankah akan menjadi pertanda nyata juga? Di mimpi itu ... kau ...."

Jaebum terkejut. Ternyata gara-gara mimpi?

"Mimpi? Mimpi apa? Ceritakan!"

Yuna menggeleng kuat-kuat. Ia kacau balau, sampai-sampai tak bisa mengatakan apa yang ia lihat. Di samping itu, ia juga tidak ingin menambah beban pikiran Jaebum. Ia sudah banyak menyusahkan lelaki ini. "Aku takut, Jaebum."

Meski penasaran dan ingin memaksa, Jaebum tetap menahan sebisa mungkin. Ia menghela napas. "Baiklah, kalau kau tidak mau cerita. Tenangkan dirimu dulu."

Imbas dibawa ke mimpi mengerikan tadi, kestabilan emosi Yuna beralih hancur sejenak. Beban pikiran tanpa henti terus berputar di kepala, dan mengoyak beberapa lapisannya. Percuma, sebanyak apa pun ia bertekad agar jangan sampai memperlihatkan sisi lemah di hadapan Jaebum, ujungnya hancur juga. Yuna sadar kalau ia tetaplah hanya seorang gadis manusia biasa.

Werewolf [The Lorzt's Regulation]Where stories live. Discover now