Finding 18

153 18 5
                                    

Tidak sampai seminggu, orang-orang sudah mulai lupa tentang kejadian yang pernah terjadi di sekre. Atau setidaknya, mungkin pelakunya pun akan berfikiran serupa.

Hari ini, tepat 17 Agustus. Puncak perayaan perlombaan, mereka sepakat berdandan dengan pakaian yang melambangkan perbedaan. Bahkan sengaja memesan via online untuk totalitas tampilan.

Akan ada pawai setelah upacara bendera, lalu akan ada banyak perlombaan setelahnya.

Setelah azan subuh, penduduk desa sudah mulai ramai dengan persiapan mereka. Sebagian memastikan tiang bendera di depan rumah mereka tidak roboh diterpa hujan semalam. Ada yang menyapu halaman atau sekedar membentang jemuran.

Upacara bendera dimulai pukul delapan, tidak kurang. Mungkin akan sedikit terlambat seperti banyak acara kebanyakan. Bimala membuka pintu depan setelah diketuk tiga kali, rombongan anak laki-laki memang sengaja menginap di balai desa semalam setelah merampungan beberapa persiapan final.

Anak perempuan bergantian untuk mandi, karna tentu di rumah ini hanya ada satu kamar mandi dan biasanya anak laki-laki akan mengalah memilih mandi di dekat sumur, tempat biasa mereka mencuci baju.

Bimala memilih kebaya sederhana yang lebih mirip batik biasa, dengan bawahan jarik yang ia bentuk sepanjang 3/4 menutupi kakinya. Rambutnya yang pendek tidak bisa ia modifikasi, hanya ia biarkan tergerai seperti biasa lalu ia lilitkan pita bendera yang berfungsi seperti bandana.

Pukul 7 lewat sedikit, mereka sudah berkumpul di balai desa yang berada tepat di samping lapangan. Anak-anak yang bertugas mengibarkan bendera juga sudah ramai berdatangan.

"Pada sarapan dulu ya, biar nanti gak pingsan" Bimala membagikan roti dan beberapa kue basah kepada anak-anak yang sudah rapih dengan seragam putih mereka.

"Kalau perlu apa-apa, bilang aja ya" sekali lagi Bimala tersenyum sebelum meninggalkan anak-anak itu menghabiskan sarapan mereka.

_____________

"Obeng"

"Ha?"

"Obeng Ar"

"Lah tadikan sama lo udahan"

"Mana ada. Gue kasih ke lo ya"

"Kagak ada"

"Ada"

"Kagak ada. Ngeyel amat"

"Cepetan napa cari"

"Si anjir lo nyuruh nyari, noh di kantong belakang lo"

"Ngomong kek"

"Gue dorong lo ya biar nyungsruk ke ubin sekalian"

"Brisik lo. Coba cek dulu, udah bener belum posisinya"

"Gue lepas ya tangga lo"

"Ya guenya turun dulu dong pinter"

"Dih"

"Agak geser ke nanan gak sih?"

"Pegangin lagi ni tangga. Biar gue geser arahnya"

"Lo minta tolong tapi galak amat"

"Brisik lo ah. Buruan, keburu kepergok orang ditanya macem-macem, garuk pala doang lo ntar"

"Ck, iye buru"

"Coba cek dari HP lo, gimana?"

"Udah sih"

"Sih? Yakin gasih lo"

"Iye. Rempong bener dah buset lo laki"

"Pegangin, gue turun" Ganindra melompat turun dari anak tangga ketiga, membuat Ardhan mendengus.

Merogoh saku, Ganindra memeriksa apakah posisi kamera yang mereka pasang sudah tepat mengarah ke posisi yang benar.

Keduanya sengaja memasang kamera yang mengarah ke sekitaran belakang dan menyorot sedikit arah samping rumah untuk bergaja kalau-kalau penguntit itu akan kembali.

Ganindra yakin orang semacam itu tidak akan mudah berhenti dari kebiasaan buruknya, setelah kondisi dianggap tenang untuk beberapa hari ini, dirinya semakin yakin kalau pelakunya akan kembali melancarkan aksinya.

Keduanya sengaja memilih hari ini untuk memasang kamera tanpa menimbulkan keributan dan tanya yang terlalu rumit untuk dijelaskan dengan kalimat paling sederhana sekalipun. Berhubung hampir semua penduduk sedang berkumpul di lapangan balai desa untuk bersiap upacara, Ganindra dan Ardhan menggunakan waktu itu untuk melancarkan rencana mereka.

Alasan utamanya tentu saja supaya Bimala tidak mengetahuinya.

"Kalian ngapain?" Ardhan hampir terjungkal di ambang pintu karna seseorang tiba-tiba bersuara dari balik punggungnya.

"Astagfirullah" berucap sambil bersandar pada daun pintu, Ardhan menyentuh dadanya yang berdebar. Sialan, sudah mirip seperti maling dirinya ini.

"Ras, lo ngagetin aja"

"Pada ngapain?"

"Meriksa pintu belakang. Takut belum kekunci karna lo pada tadi perginya buru-buru, takut ada maling. Lo kenapa balik?"

"Mau ambil charger kamera"

"Oh. Oke"

"Ayo bareng"

"Eh? Nanti deh Ganindra kebelet nabung katanya. Lo duluan aja, nanti kita nyusul" jawaban Ardhan membiat Laras mengeryitkan dahi sebentar, sebelum kemudian mengangguki tanpa berujar lebih lanjut.

"Aduh" Ardhan mengaduh sambil memegangi bagian belakang kepalanya. Gabindra memukulnya dengan cukup keras.

"Lo kalo cari alesan emang selalu milih yang paling natural tapi bikin jijik ya Ar"

"Keren kan?"

"Raimu"

"Ha?" Ardhan yang memang pada dasarnya tidak mengerti sama sekali dengan bahasa jawa, tentu saja tidak tahu apa arti dari ucapan Ganindra. Lagipula Ganindra pasti dengan sengaja mengucapkannya karna tahu Ardhan tidak akan paham artinya.

"Lo mau kemana?"

"Upacara lah"

"Tungguin gue anjir"

Ganindra memilih mengenakan atasan batik putih dengan motif ulir hitam dan bawahan sarung bermotif garis horizontal berwarna hitam dilengkapi dengan blangkon hadiah dari murid SD yang kelasnya ia masuki dua hari yang lalu.

Sedangkan Ardhan lebih memilih jadi kabayan, laki-laki terlalu sakit kepala bingung menentukan ingin jadi karakter apa, dan berakhir hanya mengenakan sarung yang ia kalungkan di leher dan kopiah hitam uang dibiarkan miring.

Senyum Ganindra mengembang begitu menemukan Bimala berdiri diantara kerumuman, rambut rose wine dengan highlight sedikit lebih terang jelas mencilok dibandingkan dengan siapapun yang ada di sana. Senyum laki-laki itu berakhir dengan kedutan geli di ujung bibir ketika menyadari bahwa sepatu kets putih yang dikenakan Bimala tentu tidak cocok dengan setelan pakaiannya.

"Tundukkan pandanganmu wahai cucu adam" Ardhan mendorong tengkuk Ganindra supaya sedikit menduduk. Teryata Ganindra begitu terang-terangan memperhatikan Bimala dengan senyuman yang siapapun mungkin akan mengerti apa artinya.

"Lo kalo udah bucin, susah ya Gan"

"Bacot lo coba"

"Gue ngomong bener juga. Venusha bakal nangis kenceng kalo tau gimana kelakuan lo di sini sekarang"

Ah iya, Vensuha. Gadis itu masih belum berhenti mengiriminya pesan dan sesekali akan memberinya panggilan, walaupun selalu berkahir dengan cara yang sama, tapi gadis itu belum menyerah juga.

"Ah. Mumpung lagi bahas itu bocah, gue jadi inget kalo tempo hari dia nitip pesen ke lo kalo bakal ada hadiah buat lo yang bakal dateng"

"Hadiah?"

"Tauk deh. Lo kan tau dia rada ajaib"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 11, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Finding Your P U L S EWhere stories live. Discover now