(7)

71 22 11
                                    

Suara jangkrik mengisi keheningan yang hinggap di sekitar mereka berdua. Ana menatap Juki sambil berjalan pelan mendekat kepadanya.

"Kamu ... ngapain di sini?" tanya Juki.

Ana berpikir sejenak sambil menoleh ke arah arus. Aliran air tenang itu tampaknya beradu dengan pikirannya yang bergelombang.

"Nyari angin," jawabnya setelah memandang sungai cukup lama.

Padahal, arus sungai tidak begitu deras. Ke mana perginya buku itu? Apakah sebaiknya jujur saja kepada Juki?

"Woy, jangan melamun. Pamali." Juki pun duduk di atas daun pisang yang sedari tadi terhampar. Ia melempar kail, kemudian remaja itu menancapkan pancingnya yang terbuat dari pelepah sawit muda ke dalam tanah.

Ana menatap sekeliling. Ada pisau di dekat daun pisang yang sedang diduduki Juki. Pun ada beberapa helai daun sawit yang masih hijau muda. Sepertinya pancingnya benar-benar baru dibuat. Itu berarti Juki sudah berada di sini sejak tadi.

"Kamu udah dari tadi di sini?" tanya Ana memastikan.

"Iya." Juki mengangguk tanpa menolehkan kepalanya dari sungai.

"Lihat buku hitam yang hanyut?"

Juki menoleh dan mendongak, keningnya lalu terlipat. Ia terlihat menerawang ke langit. Kemudian, laki-laki itu berdiri dan sepenuhnya menghadap Ana.

"Saya dari tadi sibuk bikin pancing, nggak ada lihat apa pun." Ana mengangguk-angguk.

"Memangnya kenapa?" lanjut Juki penasaran.

Ana hanya menggeleng pelan, kemudian gadis itu mengambil daun-daun sawit yang beserakan. Ia duduk beralaskan daun sawit. Juki tersenyum melihat gadis itu.

"Sini dianyam dulu." Ana mengernyit heran. Dianyam?

Juki meminta gadis itu untuk segera berdiri. Mau tak mau Ana menurut saja. Kemudian Juki mulai menjalin helaian daun sawit hingga membentuk tikar kecil yang cukup untuk dijadikan alas buat Ana.

"Terima kasih." Ana tersenyum.

Mereka berdua duduk memandang sungai di hadapan.

"Juki," panggil Ana. Yang dipanggil hanya menoleh. "Ceritakan desa ini."

Hening.

"Apakah benar kalau dulu desa ini desa kecil yang para penduduknya mati satu per satu?" Ana sudah tidak bisa membendung rasa penasarannya.

Alis Juki menyatu.

"Darimana kamu tau?"

Ana menceritakan yang diketahuinya dari Ayah. Juki menanggapi dengan mengangguk sesekali sambil melihat ke arah sungai. Kemudian keduanya senyap. Hanya ada suara alam yang berkuasa.

"Memang betul begitu," kata Juki setelah sekian lama berdiam diri. Ia kemudian bangkit sambil menarik pancingnya. Seekor ikan sebesar telapak tangan meliuk-liuk di udara. Juki dengan sigap melepas mata kail kemudian memasukkan ikan itu ke dalam keranjang kecil miliknya.

Juki kembali bercerita setelah memasang umpan dan menancapkan pancing itu. Dulu, seperti yang dikatakan ayah Ana, desa ini masih terkait dengan kepercayaan akan hal mistis--bahkan sampai sekarang pun demikian. Setiap malam, ada saja warga yang hilang, kemudian kembali dalam keadaan tidak bernyawa. Mayat-mayat mereka dikumpulkan di satu tempat. Hingga suatu saat ....

"Apa?"

"Mayat mereka hidup lagi."

Ana bergidik membayangkan apa yang dikatakan Juki. Sementara pemuda itu hanya tertawa menanggapi wajah Ana yang ketakutan. Mereka kemudian diam selama beberapa saat.

Desa Berangai[END]Where stories live. Discover now