Beban Orang Tua

26 4 0
                                    

Bab 2 (Harapan)

“Masa depanmu tergantung apa yang telah kamu kerjakan hari ini.”

***

Dalam ruangan sudah dipenuhi beberapa siswa. Seluruh murid telah siap mengikuti pembelajaran hari ini. Fatih selaku salah satu guru di sekolah Harapan Bangsa. Ia masuk ke dalam kelas yang langsung disambut baik oleh murid-muridnya. Perempuan dengan hijab berwarna ungu itu tersenyum tipis melihat semangat belajar dari anak-anak ini.

“Baik, anak-anak. Kemarin ibu telah bertanya tentang cita-cita kalian. Sekarang, ibu ingin kalian menuliskan alasan mengapa memilih cita-cita tersebut dan apa harapan kalian di masa yang akan datang. Setelah itu, ibu ingin kalian membacakan di depan teman-temanmu,” jelas Fatih kepada seluruh murid kelas lima.

“Baik, Bu Guru!”

Mereka langsung berlomba-lomba menuliskan harapan-harapan kecil yang mereka impikan. Fatih sengaja memberikan tugas tersebut, ia berpikir untuk anak di usia mereka sudah sepatutnya memiliki harapan di kemudian hari. Sebab, dari harapan-harapan itulah yang akan menciptakan semangat mereka untuk lebih giat dalam belajar.

Sepuluh menit telah berlalu. Saatnya Fatih memerintahkan murid-muridnya untuk maju di depan satu per satu dan membacakan harapan-harapan yang telah mereka tulis dalam lembaran kertas. Masing-masing murid telah membacakan harapannya. Semua bersorak saat mendengar harapan-harapan kecil dari teman-teman mereka.

Kini giliran Satria yang akan maju di depan untuk membacakan apa yang telah ia tulis. Ia langsung maju saat namanya disebut. Anak itu mengambil kertas selembar kemudian menatap satu per satu teman-temannya. Sebelum memulai, ia mengucapkan salam terlebih dahulu dan langsung dibalas oleh teman-temannya.

“Cita-cita aku yaitu ingin menjadi seorang dokter. Alasan aku memilih profesi tersebut karena aku ingin menjadi seorang dokter yang dapat bermanfaat untuk semua orang. Dengan menjadi dokter, aku bisa membantu menyembuhkan penyakit orang-orang,” ucap Satria dengan lantang.

Seluruh teman-temannya bertepuk tangan, terkecuali Zidan. Tidak sedikit pun senyum tipis terukir di bibirnya. Fatih yang medengar penuturan Satria, wanita itu tersenyum tipis. Ia merasa bangga mempunyai murid yang sudah memiliki pengetahuan luas seperti Satria.

“Bagaimana bisa kamu menjadi dokter?! Sedangkan untuk makan saja kamu susah mendapatkannya! Cita-citamu sangat mustahil untuk diwujudkan, Satria!” Suara lantang Zidan membuat seisi kelas tertawa, terkecuali kedua sahabat sejati Satria.

Fatih terkejut mendengar ucapan yang barusan dilontarkan Zidan. Ia tidak menyangka anak itu akan mengatakan hal seperti itu kepada temannya sendiri. Melihat Satria yang sudah menundukan kepala, Fatih merasa iba padanya. Ia langsung berusaha menenangkan seisi kelas yang sudah riuh.

Wanita itu kemudian memanggil Satria, lalu memberikan senyuman manis pada anak kecil itu. Fatih memerintahkan Satria untuk melanjutkan bacaannya, anak dengan baju yang sudah lusuh itu hanya tersenyum dan mengangguk seakan semua baik-baik saja. Satria kembali menatap teman-temannya, kemudian bilik matanya teralih pada Zidan yang tengah tersenyum miring padanya.

Satria hanya membalasnya dengan senyum manis di bibirnya. “Tidak apa-apa. Aku memang orang miskin yang bahkan untuk makan pun susah. Aku tidak seperti kalian yang terlahir dari keluarga mampu. Kalian beruntung karena bisa mendapatkan apa yang kalian mau.”

Seisi kelas langsung terdiam. Anak-anak itu semua hanya bisa menundukan kepala mereka. Kalian jangan berpikir kalau Zidan juga akan seperti itu. Melihat Satria yang seperti itu, membuat Zidan malah semakin membencinya. Sedangkan Fatih, ia seperti merasakan sesak di dada saat mendengar ucapan Satria.

Beban Orang TuaWhere stories live. Discover now